Meneguhkan Pancasilaisme

Yudhie Haryono
Rektor Universitas Nusantara

Kilometer.co.id Jakarta Indonesia hadir. Ia tumbuh dengan setrilyun asa. Diiringi semilyar harap. Jutaan tergapai. Ribuan melayang dan bahkan mengganggu. Kini, aksiologi problema kita terletak dalam lima hal: 1)Warisan kekuasaan lama yang hancur-hancuran; 2)Ketidakmampuan elite pemerintah fokus menyelesaikannya; 3)Berkecambahnya pemain lama berbaju baru dan pemain baru bermental lama; 4)Rakusnya penjajah baru internasional; 5)Bencana alam yang terus datang.

Akibatnya, negara gagal menghadirkan kebutuhan dasar warga (pangan, papan, pakaian, pekerjaan, sekolahan, kesehatan). Kemiskinan meningkat, pengangguran membuncah, ketimpangan menajam, kekacauan mentradisi, hukum lumpuh, utang negara menggunung.

Saat yang sama, kaum kaya berpesta pora tiada henti. Mereka membentuk oligarki. Mereka menciptakan perkaderan dan tradisi. Akibatnya, pancasila dan nilai-nilai luhur (agama dan kebijakan-kebijaksanaan lokal) terkhianati. Yang sakral terhapuskan. Yang profan dibanjirkan. Antara baik dan buruk tak lagi ada sekat dan perbedaan.

Padahal, pancasila itu alat perlawanan. Dus, tujuan pancasila adalah mengarahkan kehidupan negara agar lebih martabatif, baik bersama seluruh warga di dalam negeri maupun bersama negara-negara lainnya.

Selanjutnya, politik pancasila hadir dalam rangka membangun institusi-institusi politik yang merdeka, adil, modern, mandiri dan martabatif. Dengan begitu, politik pancasila akan selalu membantu untuk menganalisa dan memecahkan problema korelasi resiprokal antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur politik yang ada demi kebahagiaan bersama.

Penekanan adanya korelasi resiprokal ini menghindarkan pemahaman politik pancasila yang sering diredusir menjadi hanya sekadar hasrat, perilaku dan motif individu dalam bernegara seperti 10 tahun terakhir sehingga melahirkan warga (semuanya) koruptif, ilusif dan amoral.

Tetapi, apa sejatinya politik pancasila itu? Adalah politik yang bersumber pada kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang digali dari kepribadian bangsa Indonesia sendiri yaitu Pancasila.

Rumusannya adalah 5 nilai dan 4 program. Nilai-nilainya: bertuhan, berkemanusiaan, bergotongroyong, berdemokrasi dan berkeadilan. Sedang program-progrannya: melindungi, menyejahterakan, mencerdaskan, menertibkan.

Rumusan tersebut pada dasarnya merupakan rangkaian yang bulat dan utuh dari semua sila dan pembukaan UUD45.

Kini tugas kita merevitalisasi dan mentradisikan nilai-nilai dan program-program tersebut di semua kebijakan publik agar semua warga negara mendapatkan hak dan kewajibannya sesuai janji negara merdeka. Fokus di situ. Fokus.

Yaitu suatu negara pancasila yang bermerdeka, berhukum, berkonstitusi, berpemerataan, bernalar, bersetara, berheterogen, berprestasi, berkebebasan, berkedaulatan, bermandiri, bermodern dan berkemajuan.

Negara yang anti mayorokrasi (diktator mayoritas) dan anti minorokrasi (diktator minoritas). Anti liberalisme (neoliberal) dan anti komunisme (fasis-feodalis). Mental ini bersemayam dalam sosialisme, humanisme dan multikulturalisme yang stabil dan berkelanjutan.

Jadi, apa itu berpancasila? Bung Karno menjawab, “perasan yang lima menjadi satu, maka dapatlah aku satu perkataan yang tulen, yaitu perkataan gotong-royong. Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat semua.”

Tentu saja, prinsip, tradisi dan realisasi utama gotong royong di antara yang kaya dan miskin, antara kaum beragama, antara yang bodoh dan pintar, antara yang Indonesia dan yang non-Indonesia adalah anti gotong-nyolong.

Jika mentalitas tersebut menjadi tradisi yang hidup, praktis negeri kita menjadi mercusuar dunia. Rakyatnya bahagia, negerinya makmur, semestanya diridaiNya, warisannya membanggakan dan suasananya syorgawi.

Inilah tanah terberkati, tanah di mana jiwa raga kami baktikan, janjikan dan persembahkan serta wakafkan. Tanah, air, udara yang terus menjadi inspirasi dunia.(*)