Oleh ; Yudhie Haryono
Kilometer.co.id Jakarta Artikel ini ditulis saat Indonesia sangat berduka karena kehilangan ekonom terbesar zaman modern di tengah makin kerdilnya negara oleh elitenya. Ekonom cum aktifis itu adalah Rizal Ramli. Semoga beliau terberkati selamanya.
Sambil mengenangnya, aku mengenang Sjafruddin Prawiranegara. Tanpa gagasannya, kita mungkin tak punya rupiah; tak punya uang sendiri; bahkan tak punya “mata uang.” Ialah ekonom cum bankir generasi pertama Indonesia Merdeka. Ialah ekonom yang jadi presiden tetapi tak ditulis sebagai Presiden Indonesia dalam sejarahnya.
Mengapa muncul tesis di awal paragraf seperti itu? Sebab, Sjafruddinlah orang pertama (satu-satunya) yang usul agar pemerintah RI segera menerbitkan mata uang sendiri sebagai atribut kemerdekaan Indonesia untuk mengganti beberapa mata uang asing yang masih beredar, sekaligus sebagai penanda dan petanda sekaligus kedaulatan negara.
Uang sebagai petanda dan penanda itu sangat penting. Terlebih, pak Syaf ini meneguhkannya dengan dua hal: 1)Menjadi presiden walau hanya 6 bulan 21 hari (serta jabatan strategis lainnya). Dan, 2)Menyelesaikan inflasi plus kekacauan ekonomi tinggalan para penjajah-penjarah via program sanering mata uang (gunting sjafruddin).
Kita tahu, ujung dari perang dagang adalah proses depresiasi nilai tukar uang sebuah negara. So, kebijakan sanering pada waktu itu adalah usaha perlawanan ekonomi dalam bentuk “penyehatan uang” yang ditempuh untuk mencegah inflasi semakin tinggi, mengendalikan harga, meningkatkan nilai mata uang, dan memungut keuntungan tersembunyi dari perdagangan.
Makin ke sini, uang memang bergerak tragis, tidak tak terbatas; tidak tak terpikirkan. Ia yang di abad lalu hanya alat pemindahan kekayaan bagi kolonialisme, kini makin rigid sebagai alat dominasi, penetrasi sekaligus takdir sebuah negara.
Sejarah uang adalah sejarah peradaban dan penundukan. Karenanya, uang merupakan benda bersejarah dan cerminan keadaan dari suatu negara. Desain mata uang yang diterbitkan ada beberapa macam tema yang terkenal dan langka. Mata uang dengan tema tersebut, merupakan kenangan terhadap suatu peristiwa yang menarik.
Di masa awal kemerdekaan, uang merupakan alat/penanda kemerdekaan, petanda untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan, penanda kemajuan sehingga desain Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) terpasang gambar wajah tokoh Proklamator Kemerdekaan Indonesia sejak revolusi hingga sekarang.
Maka, sejak ratusan tahun lalu, uang sudah menjadi bahan/alat/penanda/petanda yang melambangkan kekayaan, kejayaan, kemakmuran sekaligus dominasi dan penjajahan. Uang menggantikan emas dalam sejarah simbol manusia atas cengkraman terhadap semesta. Dulu, hiasan tahta emas selalu menjadi bagian dari ornamen sebuah perangkat raja-raja dan bahkan digunakan dalam banyak bangunan peninggalan zaman purba. Kini hiasan dan simbol uanglah yang jadi ukuran.
Mengingat visi besar Sjafruddin Prawiranegara dalam hal “uang” sangat menarik. Sebab, ia adalah orang Indonesia pertama dan satu-satunya yang menjadi Presiden De Javasche Bank (DJB) di masa-masa akhir tahun (1951-1953).
Ia bersama kawan-kawan yang lain (Jusuf Wibisono, Mohamad Sediono, Soetikno Slamet, Soemitro Djojohadikoesoemo, Sabarudin, Khouw Bian Tie), menasionalisasi DJB menjadi Bank Indonesia sekaligus menduduki jabatan Gubernur Bank Indonesia (BI) pertama tahun (1953-1958).
Saat menjadi gubernur itulah ia membuat visi-misi BI yang fundamental: 1)Memajukan ekonomi nasional; 2)Menumbuhkan dan mengembangkan pengusaha pribumi; 3)Merubah sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional; 4)Melakukan kerja sama antara pengusaha pribumi dengan pengusaha asing demi kesejahteraan nasional; 5)Menjadi penjaga kedaulatan uang rupiah dan kedaulatan negara.
Sayang, visi-misi besar itu hilang. Kini BI menjadi Bank (di) Indonesia, bahkan jadi sarang penyamun yang bahagia saat rupiah terdepresiasi sampai tiga ribu persen.
So, wahai para ksatria Pancasila. Mari warisi visi besar pak Sjaf. Kita harus bangkit. Sebab, sejarah kehancuran negara seringkali karena rusaknya mental serta moral rakyat. Dan, rakyat rusak karena pemimpinnya culas bin serakah. Lalu, pemimpin rusak karena ekonomnya rusak dikarenakan cinta dunia, tahta dan lawan jenis serta takut miskin.(*)
Penulis adalah Presidium Forum Negarawan