Kilometer-Jakarta- Menurut Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas, penunjukan orang nomor satu di Korps Bhayangkara tidak baik hanya karena berdasarkan kedekatan seorang Kepala Negara.
“Akan mencalonkan dan menunjuk seseorang menjadi kapolri, pertimbangannya tentu tidak cukup hanya didasarkan kepada kedekatan, loyalitas dan profesionalitas saja, tapi harus lebih luas dari itu, yaitu mana yang lebih besar maslahat dan manfaatnya bagi bangsa dan negara,” kata Anwar dalam keterangannya, Selasa 12 Januari 2021.
Anwar bilang, yang perlu diketahui oleh Presiden Jokowi adalah akhir-akhir ini muncul anggapan bahwa hubungan antara pemerintah dan umat Islam agak terganggu seperti yang dirilis viva
Karena lanjut Pdt Ronny bahwa keputusan siapa yang akan menduduki jabatan nomor satu di Kepolisian RI, telah diatur dengan UU REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 Tahun 2002 TENTANG KEPOLISIAN REPUBLIK INDONESIA; Bab II Pasal 8. Kemudian, Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kapolri yang dalam pelaksanaan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Demikian juga Bab II Pasal 11.1 Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, dan menjadi wewenang sepenuhnya dari Presiden RI Joko Widodo.
Bahwa beberapa calon terbaik dari Kepolisian yang telah berada di tangan Presiden Joko Widodo, dan kemudian memilih dan menunjuk Komjem Pol Listyo Sigit sebagai calon Kapolri yang baru, adalah keputusan mutlak Presiden RI dan jangan dibentur-benturkan dengan persoalan latar belakang status, suku ataupun agama.
Kepolisian RI bukanlah lembaga keagamaan karena tidak berurusan dengan kaidah agama tertentu. Kapolri pertama 1963-1965 dijabat oleh Jenderal Pol Soetjipto Danoekoesoemo beragama Kristen; Kapolri periode 1984-1978 dijabat oleh Jenderal Pol Widodo Budidarmo yang beragama Kristen.
Artinya di Republik Indonesia, sesuai dengan UU RI No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian, siapapun yang dipandang pantas dipilih oleh Presiden RI untuk menjabat sebagai Kapolri sudah sepatutnya diterima, karena umumnya menjadi Kapolri harus melalui uji bertahap yang juga melibatkan Kompolnas.
Terutama, bahwa setiap Kapolri yang berasal dari latar belakang status sosial, suku dan agama yang berbeda, siap menunjuklan tanggung jawabnya sebagai Kapolri dan juga menunjukkan sebagai orang yang taat beragama.
“Lembaga apapun, apalagi berbasis keagamaan sebaiknya tidak mengganggu proses penetapan calon Kapolri, sebab yang kelak dipilih dan ditetapkan Presiden dan DPR, dan tentu saja diterima dan didukung seluruh rakyat Indonesia yang multicultural”, tegas Ronny yang juga gembala jemaat GKRI Karmel Permata Hijau ini lantang.