Jakarta, kilometer.co.id.com – Mahkamah Agung (MA) akhirnya menolak kasasi terdakwa kasus dugaan penyelenggaraan program pendidikan tidak berijin, dan penerbitan ijazah ilegal pada periode tahun 2003 hingga 2009. Rektor (Ketua) Sekolah Tinggi Theologia Injili Arastamar (STT SETIA) Pdt. Dr. Matheus Mangentang, M.Th, serta Direktur PGSD STT SETIA Ernawaty Simbolon, S.Th menjadi terdakwa. Selain menolak kasasi terdakwa, MA juga menolak permohonan jaksa dalam perkara ijazah palsu Pendidikan Guru Sekolah Dasar Sekolah Tinggi Injili Arastamar (STT SETIA) tersebut. Putusan itu telah dikeluarkan pada 13 Februari 2019 dengan nomor 3319 K/PID.SUS/2018. Putusan perkara Matheus Mangentang diputus oleh Hakim Agung Eddy Army, Hakim Margono, dan Hakim Andi Samsan Nganro.
Mengawal sidang-sidang sebelumnya, Matheus Mangentang dan Ernawaty Simbolon melakukan perlawanan hukum atas putusan PN Jaktim, mereka menempuh jalan banding kepada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, ternyata putusan vonis PT DKI Jakarta mengukuhkan putusan vonis PN Jaktim. Langkah perlawanan hukum kembali ditempuh dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung RI. MA RI pada 13 Februari 2019 telah mengeluarkan putusan vonis atas upaya hukum kasasi yang diajukan Matheus Mangentang dan Ernawaty Simbolon, yakni menolak pengajuan kasasi yang disampaikan baik oleh Jaksa Penuntut Umum maupun kedua terpidana, dan ini berarti putusan vonis MA RI memperkokoh putusan vonis peradilan sebelumya.
Kedua terdakwa dijatuhi hukuman tujuh tahun dan denda masing-masing sejumlah Rp 1 miliar dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti dengan kurungan masing-masing selama 3 (tiga) bulan dengan status tahanan kota. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta (PT DKI Jakarta) menolak permohonan banding yang diajukan kedua terdakwa Matheus Mangentang dan Ernawati Simbolon. Putusan PT DKI Jakarta memperkuat putusan PN Jaktim yakni 7 tahun Penjara, denda 1 miliar dan subsider 3 bulan.
Berdasarkan salinan putusan yang diunggah di situs Mahkamah Agung 24 Oktober 2018, putusan banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tersebut dibacakan pada 18 September 2018 dengan nomor perkara 251/Pid.Sus/20185/PT.DKI. Majelis hakim yang menangani kasus tersebut adalah Sudirman sebagai ketua serta Dahlia Brahmana dan Sri Anggarwati sebagai anggota. “Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 100//Pid.Sus/2018/PN.Jkt.Tim, tanggal 07 Juni 2018 yang dimintakan banding tersebut,” demikian kutipan amar dari salinan tersebut.
Yusuf Abraham Selly yang dipercaya menjadi perwakilan sekaligus jurubicara para penggugat, kepada sejumlah media yang menemuinya mengatakan bahwa ini adalah kasus pelanggaran terhadap UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 terkait penyelenggaraan pendidikan tanpa izin dengan kedua terdakwa yaitu Matheus Mangentang sebagai Rektor STT SETIA dan Ernawati Simbolon sebagai Direktur PGSD SETIA. Mereka membangun Program Studi Umum PGSD sejak tahun 2003. “Tahun 2008 sebetulnya sudah ada perintah dari Dikti (Pendidikan Tinggi) untuk menutup, tapi masih berlanjut bahkan sampai tahun 2010,” jelas dia.
Yusuf mengutarakan sebetulnya PGSD merupakan Program Studi Umum, bukan keagaaman. “Namun mereka (Matheus Mangentang dan Ernawati Simbolon) menyelenggarakan Program Studi Umum PGSD dengan menggunakan KMA (Keputusan Menteri Agama) yang sebetulnya diperuntukkan buat Program Studi Keagamaan seperti Prodi Teologi Kependetaan dan Prodi Pendidikan Agama Kristen. Jadi, mereka menggunakan KMA untuk menjalankan Program Studi Umum PGSD. Inilah yang kami tuntut. Sebab domain perijinan PGSD berada pada Dikti, yang dulu masih dibawah Kemendikbud. Penyelenggaraan PGSD tersebut tidak sesuai dengan aturan main dari UU Sisdiknas,” beber dia.
Lebih lanjut Pdt. Yus Selly mengemukakan bahwa target mereka penggugat, sesungguhnya tidak berhasrat memenjarakan kedua terpidana, tetapi mereka meminta tanggung jawab dan keadilan atas persoalan yang menimpa mereka oleh karena penggunaan ijazah PGSD STT SETIA, yang ditolak banyak pihak termasuk pemerintah daerah, dan setelah melalui berbagai upaya, akhirnya diketahui bahwa ijazah tersebut tidak legal, bahkan program pendidikan PGSD yang mereka ikuti pun dinyatakan tidak legal, oleh karena tidak memiliki ijin penyelenggaraan program pendidikan. Namun demikian, Pdt. Yus Sellly atas nama korban sebanyak 659 orang, bahwa putusan tersebut merupakan berita baik untuk korban. “Pastinya kita mengapresiasi putusan MA, karena ini sudah menjadi harapan kita,” ungkap Pdt. Yus Selly. Selanjutnya, pihaknya akan memastikan kedua terdakwa segera dieksekusi dan ditahan rutan sesuai dengan putusan pengadilan, ujar Pdt. Yus Selly yang saat berdialog dengan media, turut disertai oleh Majelis Tinggi Sinode GKSI Frans Ansanay. “Kita berharap pengadilan segera menahan para terdakwa, dan mereka menjalankan hukuman yang sudah diputuskan” pungkasnya