Kilometer.co.id Jakarta, 12 Juli 2024 – ASEAN merupakan rumah bagi agama-agama besar di dunia sehingga perlu adanya tanggung jawab untuk menumbuhkan rasa saling menghormati dan toleransi diantara negara-negara anggotanya. Pendekatan literasi keagamaan lintas budaya (LKLB) yang berhasil dikembangkan oleh Indonesia bisa menjadi katalisator untuk terwujudnya budaya dialog dan kolaborasi yang dibutuhkan komunitas ASEAN.
“ASEAN sebagai rumah dari keragaman agama harus mampu meningkatkan dialog antar umat beragama. Salah satu prioritas kebijakan Indonesia adalah diplomasi berbasis agama dengan fokus untuk menjaga keutuhan NKRI, mendorong toleransi, demokrasi, dan kebhinekaan, serta mencegah radikalisme dan ekstremisme,” kata Kepala Badan Strategi Kebijakan Luar Negeri Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI), Yayan Ganda Hayat Mulyana, dalam Konferensi Internasional Literasi Keagamaan Lintas Budaya yang diadakan Kemlu RI dan Institut Leimena, Kamis (11/7/2024).
Yayan menjelaskan populasi ASEAN sebanyak 692.550.942 atau sekitar 8,54% populasi dunia mencakup agama Islam (42,2%), Buddha (35,4%), Kristen (15,5 %), dan Hindu (5,7%), lainnya (1,2%). Berdasarkan Religious Diversity Index tahun 2014 oleh Pew Research Center menyebut bahwa keragaman agama diterima secara luas dalam komunitas ASEAN dimana kawasan Asia Pasifik secara global merupakan kawasan paling beragam dengan skor RDI 9,2 (sangat tinggi).
“Tentu saja LKLB menjadi signifikan untuk memahami dan menghormati keyakinan dan praktik keagamaan berbeda, mempromosikan kohesi sosial, dan penting bagi kehidupan yang harmoni dalam masyarakat yang majemuk,” kata Yayan sebagai salah satu narasumber dalam sesi panel berjudul Cross-Cultural Religious Literacy for an Inclusive and Cohesive ASEAN Community.
Yayan menambahkan salah satu prioritas politik luar negeri (Polugri) Indonesia adalah diplomasi berbasiskan keyakinan (faith-based diplomacy). Upaya yang dilakukan Kemlu lewat Dialog Lintas Agama sejalan dengan upaya untuk mengadvokasi identitas serta menangkal radikalisme dan ekstremisme. Indonesia juga memiliki Peraturan Presiden Nomor 58 tahun 2023 tentang Moderasi Beragama.
“Di dalam pendidikan, literasi keagamaan bisa diintegrasi dalam kurikulum, pengajaran yang menghormati dan mengapresiasi keragaman tradisi agama, serta menyiapkan siswa untuk kewarganegaraan global,” ujar Yayan.
Senada dengan itu, Wakil Direktur di Direktorat Kerja Sama Sosial Budaya ASEAN Kemlu RI, Monica Ari Wijayanti, mengatakan literasi keagamaan lintas budaya lebih dari sekadar pengetahuan tentang doktrin agama, namun upaya mewujudkan pemahaman yang lebih dalam tentang keyakinan, praktik, dan nilai-nilai yang membentuk kehidupan sesama warga negara ASEAN.
“Dengan meningkatkan literasi keagamaan lintas budaya, kita melengkapi diri kita dengan alat untuk menjembatani kesenjangan budaya, mempromosikan dialog dan membangun hubungan yang bermakna,” kata Monica.
Cegah Kesalahpahaman
Monica mengatakan banyak konflik di negara-negara ASEAN yang bernuansa agama. Itu sebabnya, literasi keagamaan akan membekali individu dan masyarakat dengan pengetahuan yang bisa mencegah kesalahpahaman terekskalasi menjadi konflik. Tidak hanya itu, literasi keagamaan memastikan bahwa hukum dan peraturan peka terhadap keragaman agama.
Menurut Monica, literasi keagamaan memberdayakan individu-individu di negara-negara ASEAN untuk terlibat secara bermakna satu sama lain. Pemberdayaan ini mengarah pada ikatan komunitas yang lebih kuat dan upaya kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Di sisi lain, literasi keagamaan bisa membentuk identitas regional karena adanya pengembangan pemahaman bersama tentang keragaman agama yang berkontribusi merawat pluralisme, persatuan, dan solidaritas dalam komunitas ASEAN.
“Dalam upaya kita untuk mewujudkan masyarakat ASEAN yang inklusif, literasi keagamaan berperan sebagai katalisator untuk dialog dan kolaborasi. Literasi keagamaan memungkinkan kita untuk melampaui stereotip dan kesalahpahaman, menumbuhkan iklim di mana setiap individu merasa dihargai dan dimengerti,” kata Monica.
Wakil Indonesia untuk Komisi HAM Antarpemerintah ASEAN (AICHR), Yuyun Wahyuningrum, mengatakan negara-negara anggota ASEAN percaya bahwa komunitas regional akan tercapai bukan ketika keragaman agama dan kepercayaan ditolak atau dilebur menjadi satu kesatuan, melainkan ketika keragaman tersebut ditegaskan dan dikelola bersama. Dengan demikian, ASEAN harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan dialog, pertukaran pandangan, meningkatkan pemahaman diantara masyarakatnya.
“Namun demikian, seperti yang kita amati, kita menghadapi banyak tantangan. Kami juga masih mengamati intoleransi, stereotip negatif dan stigmatisasi terhadap seseorang atas dasar agama dan kepercayaan sering dilakukan oleh aktor negara maupun non-negara,” kata Yuyun.
Menurut Yuyun, sering kali kejadian-kejadian yang berkaitan dengan intoleransi dan stigmatisasi agama/kepercayaan disebabkan kurangnya pemahaman dan kesadaran akan ajaran agama lain, sehingga tumbuh prasangka.
“LKLB merupakan salah satu pendekatan yang bermanfaat dan sesuai dengan situasi dan konteks Asia Tenggara. Pendekatan ini menyatukan pemikiran, tindakan dan kemampuan untuk bekerja sama dari berbagai agama dan kepercayaan di kawasan ini, sehingga ASEAN bisa mencapai tujuannya untuk menghasilkan komunitas kohesif yang menghormati HAM,” katanya.