Kilometer.co.id Jakarta Orang bertanya, “bagaimana menyalakan cahaya pancasila?” Aku menjawabnya dengan hening cipta. Merundukan kepala mengheningkan cipta. Membuka dada, melihat isi di kedalamannya, mendengar petunjuk dari dasar samudra hatinya. Menemukan sumber suara untuk membangun lahir dan dunia.
Mengheningkan cipta adalah jalan, usaha untuk menemukan kemurnian sekaligus keselarasan kepada kehikmatan. Menelusuri perjalanan nafas guna menelusuri asal usulnya. Kelembutan netrogin yang berpadu antara oksigen dan karbondiogsida. Bersatu padu, setia dalam menjalankan perannnya. Tak pernah mengeluh dalam setiap pelayanan yang dibutuhkan manusia dan mahkluk hidup lainnya.
Keinginan luhur kehikmatanlah yang harus melatarbelakangi apapun bentuk pergerakan. Dengan tetap memegang teguh kesadaran berketuhanan dan berkemanusiaan. Maka inilah yang disebut dengan nama lain kasih murni. Wujud dari kesadaran Berpancasila untuk digelar disetiap berbagai sektornya.
Pancasila selaku sebagai jalan spiritual bagi bangsa. Untuk mendapatkannya tentunya tidak hanya berangkat dari doktrinisasi saja, namun perlu diimbangi dari aksi laku dan penggalian dari kitab yang berada pada diri setiap manusia. Perjalanan nafas lewat hening cipta adalah cara untuk masuk kekedalaman samudra hatinya. Menembus ruang sehingga mengalami lompatan pemikiran dalam melihat apa saja.
Kini mari nikmati sepenggal lirik lagu Garuda Pancasila sebagai penguatnya. “Garuda pancasila/Akulah pendukungmu/Patriot proklamasi/Sedia berkorban untukmu/Pancasila dasar Negara/Rakyat adil makmur sentosa/Pribadi bangsaku/Ayo maju maju/Ayo maju maju/Ayo maju maju”/
Dengan lagu itu, kita paham bahwa pada prinsipnya hakekat gerak adalah metafisika. Maka jiwa yang sudah tercerahkan lebih memilih sikap yang cenderung tidak biasa. Karna kesaksian itulah sehingga pergerakan raga dan waktu dipakainya dengan aktifitas yang lebih bermutu dan berguna.
Apa yang disampaikan narasumber Mas Guru Setyo Hajar Dewantoro di pertemuan ke-3 ini makin mengingkatkan agar kita juga bangga dengan yang pernah dimiliki bangsa Nusantara. Aneka karya adi luhung adalah bukti peninggalan bahwa bangsa ini memang bangsa anggung. Bangsa yang sudah maju dan beradab. Bangsa yang sudah bersepiritual tinggi. Sebab, bangunan bangunan yang agung itu tidak mungkin bisa hadir kalau juga tidak dilandasi oleh kemapanan ekonomi, stabilitas politik yang teratur dan kemampuan teknologi serta citra seni budaya yang tinggi.
Tentunya suksesi pembangunan itu berjalan secara estafet, dari masa pemerintahan satu kepada pemerintahan berikutnya. Artinya proses peralihan itu berjalan dalam kondisi stabilitas politik yang tertib. Sehingga tidak berjalan sampai melakukan pertumpahan darah. Di situlah ciri nilai-nilai Pancasila hidup di peradaban pemerintahan dan masyarakatnya.
Maka jika berharap kejayaan agung itu lahir kembali, maka kembali ke jalan Pancasila. Untuk melahirkan model manusia-manusia berpancasila sebagaimana yang dicontohkan Tribuana Tunggal Dewi, Sri Kertanegara, Prabu Airlangga dan lain sebagainya. Sebab, kesadaran berketuhanan adalah yang setia dipimpin oleh hikmat. Kesadaran yang tidak hanya besandar pada kesadaran pikir, namun juga jiwa. Yang lahir dari penghayatan dan mengheningkan cipta.
Berangkat dari titik kesamaan yang digali dari hening cipta yang dijadikan pijakan dalam membangun peradaban bangsa. Tentunya perlu dirawat dan dijaga. Agar kekuatan dalam menumbuhkan nilai nilai Pancasila semakin tumbuh dan mengembang. Biar pribadi yang tauladan itu semakin menguat. Secara otomatis segala bentuk ancaman baik dari internal dan eksternal juga bisa diatasi.
Menurunkan ego dan membangun hidup yang rukun, tentunya dengan membawa jiwa tenang dan kesadaran murni yang dimulai dari masing-masing pribadi adalah tongak awal dalam menyalakan api Pancasila. Sehingga perjalanan bangsa kedepannya bisa semakin baik dan selaras dengan kehendak hikmat kebijaksanaan.(*)
Oleh : Rokhim Alnusantarae
Peserta Program KKK Nusantara Centre