KILOMETER-Zoom metting yang membicarakan nilai sejarah dan spiritual Keraton Kutai Kertanegara terkait dengan kehadiran Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Penajam, Kalimantan Timur menarik untuk disimak, karena secara historis, geografis, ekonomis, filosofis maupun politis memiliki nilai-nilai positif yang dapat dimanfaatkan untuk memantapkan kehadiran IKN Nusantara sebagai pusat pemerintahan Indonesia pada masa depan. Setidaknya, pada tahun 2024 yang telah dipatok Presiden Joko Widodo akan dapat menjadi tempat perayaan hari Kemerdekaan Republik Indonesia – dua tahun yang ke 79 tahun kemudian — pada 17 Agustus 2024.
Pendeknya waktu untuk membangun IKN Nusantara di Penajam, Kalimatan Timur itu, menunjukkan semangat untuk mewujudkan pusat pemerintahan tersebut sungguh serius, kendati perihal pendanaan untuk mewujudkan proyek raksasa ini masih belum jelas juntrungannya. Paling tidak dalam perbincangan yang menghangat di berbagai media massa sudah diwacanakan pula untuk meminta sumbangan dana dari warga masyarakat.
Secara historis, menurut Dr. KPH. Adji Harry Gondo Perawiro MM, seorang Bangsawan Kutai Kertanegara, kehadiran masyarakat dari luar Kutai Kertanegara sudah berlangsung sejak abad ke-2. Sedangkan secara ekonomis indikatornya ditandai oleh persembahan 20.000 ekor sapi oleh Maharaja Mulawarman kepada Brahmana di India. Catatan sejarah berderma 20.000 ekor sapi ini terjadi pada masa Maharaja Mulawarman pada abad ke-5 seperti yang tertoreh pada prasasti Yupa. Artinya, dukungan dari sektir ekonomi daerah tempatan tidak perlu disangsikan.
Maharaja Mulawarman adalah putra Aswawarman atau cucu dari Kundungga. Ia memerintah pada abad kelima dengan lokasi Kerajaan yang dipimpinnya diperkirakan berlokasi di sekitar Muara Kaman, 100 kilometer dari pusat Kota Samarinda. Kini wilayah tersebut menjadi sebuah Kecamatan di Kutai Kartanegara. Beberapa pihak menamakan kerajaan tersebut dengan sebutan Kutai. Penamaan ini konon karena terkuaknya prasasti yupa yang ditemukan pada abad ke-19 berlokasi di wilayah Kesultanan Kutai Kertanegara itu.
Syahdan, upacara penyerahan persembahan 20.000 ekor sapi itu berlangsung di sebuah padang luas yang terbuka disebut waprakeswara sesuai dengan tuntunan kitab Weda. Selepas ritual sesembahan dilakukan, para brahmana yang menerima sesembahan itu mengabadikannya dengan membangun tujuh tugu bertuliskan aksara Pallawa dalam bahasa Sanskerta. Tugu-tugu tersebut yang kemudian dikenal sebagai prasasti yupa yang kini disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Termasuk Mahkota Raja yang terbuat dari emas murni.
Seperti pernah dinyatakan oleh Presiden Joko Widodo bahwa lokasi IKN Nusantara terletak di Provinsi Kalimantan Timur. Tepatnya berada di dalam dua kabupaten, yaitu di Kutai Kartanegara dengan luas sekitar 26 ribu km persegi dan Kabupaten Penajam Paser Utara yang memiliki luas 3 ribu km persegi. Artinya, secara ekonomis pun, lokasi IKN memiliki prospek yang cukup menjanjikan bagi banyak orang yang ingin membuka usahanya. Kecuali itu, menurut Pangeran Harry – yang bernama lengkap Dr. KPH. Adji Harry Gondo Perawiro MM – kehadiran IKN akan mendorong pembangunan dan perkembangan daerah sekitarnya, karena IKN Nusantara kelak akan membuka peluang pada beragam macam bentuk usaha maupun lepangan kerja. Oleh karena itu, untuk menyambut kehadiran IKN di Kalimantan Timur, maka sumber daya manusia masyarakat setempat mutlak harus ditingkatkan agar tidak sampai tergusur dan terpinggirkan oleh kedatangan warga masyarakat dari berbagai penjuru tanah air, bahkan negeri asing.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) pada 2018 sebesar Rp 219,3 miliar. Jumlah tersebut terdiri atas pajak daerah Rp 53,09 miliar, retribusi daerah Rp 6,4 miliar, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Rp 34,05 miliar, dan lain-lain PAD yang sah Rp 3,87 miliar. PAD Kukar ini berada di urutan terbesar ketiga setelah Kota Samarinda dan Kota Balikpapan.
Sementara PAD Kabupaten Penajam Paser Utara pada tahun lalu hanya mencapai Rp 11,5 miliar, terendah dibanding sembilan kabupaten/kota lainnya. Jumlah PAD tersebut terdiri atas pajak daerah Rp 2,7 miliar, retribusi daerah Rp 1,56 miliar, hasil pengelolaan kekayaan daerah Rp 4,08 miliar dan lain-lain PAD yang sah Rp 3,13 miliar. (Kementerian Keungan, Juli 2019).
Menurut Muhammad Sarip (Kaltimkece.Id, 01 Februari 2021), Kutai adalah nama kerajaan lain yang berdiri di kawasan hilir Sungai Mahakam. Adanya perbedaan masa sembilan abad antara lahirnya Kerajaan Kutai di hilir dengan pendirian prasasti yupa di Muara Kaman. Karena dari hasil penelitian atas naskah historiografi tradisional Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara menunjukkan, nama yang sebenarnya dari imperium turunan Kundungga yang runtuh pada 1635 adalah Martapura, tanpa didahului kata Kutai (Kajian Etimologis Kerajaan (Kutai) Martapura di Muara Kaman, Kalimantan Timur, 2020, hlm 50).
Dalam perkembangan selanjutnya, Kerajaan Kutai Kertanegara dalam historinya resmi memeluk Islam pada abad-16. Kerajaan Kutai Kartanegara sebelumnya adalah kerajaan yang bercorak Hindu didirikan pada 1300 di Tepian Batu atau Kutai Lama. (Stori Kerajaan Kutai Kartanegara: Sejarah, Raja-raja, dan Peninggalan: Kompas.Com, 09/08/2021). Dalam peralihan dari Hindu ke Islam ini – secara historis religius – mengisyaratkan sikap keterbukaan masyarakat setempat dari kehadiran corak masyarakat maupun nilai-nilai spiritual baru yang dikenal kemudian dalam corak Islam yang kuat.
Kerajaan Kutai Kartanegara secara historis didirikan oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti, yang berkuasa antara 1300-1325. Kerajaan ini berubah menjadi kesultanan Islam pada 1575, ketika berada di bawah kekuasaan Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Pada 1635, kerajaan ini berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura yang kala itu diperintah oleh Maharaja Dharma Setia. Sejak itu, raja mengubah nama kerajaannya menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.
Peran sejarah dan nilai spiritual Keraton Kutai Kertanegara menjadi erat kaitannya dengan keberadaan IKN Nusantara yang telah dipastikan memakai nama Nusantara yang berlokasi di Provinsi Kalimantan Timur yang berada di dalam dua wilayah kabupaten, yaitu di Kutai Kartanegara dengan luas sekitar 26 ribu km persegi dan Penajam Paser Utara dengan luas 3 ribu km persegi.
Nusantara itu sendiri yang mempunyai makna historis, geografis, ekonomis dan filosofis maupun politis, dan sudah disebut-sebut pula pada jaman Kerajaan Kutai Kertanegara seperti yang lebih banyak dikenal oleh masyarakat luas adalah dari Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Sejarawan Muhammad Sarip, pemegang sertifikasi Kompetensi penulis sejarah dari KSP Kebudayaan Kemendikbud, pun mempertegas sebutan Nusantara itu pernah muncul di Kutai Kertanegara (Baca Jacob Ereste : Nusantara itu sudah ada sebelumnya di Kerjaan Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, Wajah Bangsa News, 2 Februari 2022).
KH. Achmad Ghufron, Ketua Dewan Pembina Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) yang tampil sebagai nara sumber utama dalam acara Zoom Metting yang diselenggarakan GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) bersama Pewarna (Persatuan wartawan Nasrani) Indonesia, Rabu 23 Maret 2022 mengingatkan kehadiran IKN Nusantara sepatutnya tidak cuma beranggapan cukup mendapat restu dari masyarakat setempat khususnya kalangan Keraton Kutai Kertanegara, tetapi juga perlu mendapat restu dari jagat raya Kutai Kertanegara, sebagaimana yang diungkapkan juga oleh Pangeran Harry maupun Eko Sriyanto Galgendu yang lebih special meneropongnya dengan telescopis spiritual.
Hanya dengan begitu, menurut KH, Achmad Ghufron dapat dipadukannya energi positif yang ada di bumi dan di langit agar bangsa dan negara Indonesia yang hendak memposisikan keberadaannya dalam satu bingkai besar yang bernam Nusantara dapat memperoleh berkah dan menikmati banyak manfaat, khususnya bagi seluruh rakyat yang layak disebut bangsa Nusantara. “IKN perlu dirumat dan dirawat, karena IKN Nusantara harus dapat dijadikan titik awal dari kebangkitan bangsa dan negara Indonesia yang terbingkai dalam Nusantara”, tandas Ustad Ghufron yang juga menjabat Ketua Dewan Pembina Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI).
Eko Sriyanto Galgendu, Pemimpin Spiritual Indonesia dan Ketua GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) yang juga menjadi penggagas dan penggerak sekaligus pelaksana Zoom Metting bersama Pewarna Indonesia mengungkap ragam dimensi spiritual IKN yang terkait erat dengan keberadaan Keraton Kutai Kertanegara sebagai penguasa yang terliput sejarah pemerintahan masa silam dengan segenap dimensi spiritualnya yang sangat luar biasa dakhsyat dari peninggalan para leluhur bangsa Nusantara yang pernah berjaya pada lalu itu.
Karena itu, menurut Eko Sriyanto Galgendu, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam dan hubungan manusia dengan jagat raya serta hubungan manusia dengan Sang Maha Pencipta dan Penguasa Jagat Raya ini, tidak boleh diabaikan. Pemahaman terhadap Tri Tangtu di Buana, mengandung aspek komunikasi politik dalam Fragmen Carita Parahyangan. Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode analisis hermeneutik Paul Ricoeur inni, meyakinkan data penelitian diperoleh dari teks naskah Sunda kuno Fragmen Carita Parahyangan. Berdasarkan hasil penelitian terhadap teks naskah Sunda kuno Fragmen Carita Parahyangan tersebut. Secara umum arti dari Tri Tangtu di Buana yang terdiri dari prebu, rama, dan resi mengisyaratkan adanya tiga lembaga yang secara bersamaan memegang jabatan dalam pemerintahan – seperti yang tertuang dalam konsep Kerajaan Sunda — ketiganya memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dalam memimpin. Sehingga didalamnya mengandung aktivitas komunikasi politik dalam dua peristiwa, yaitu peristiwa pembagian kekuasaan dan pembagian wilayah kekuasaan.
Kesultanan Kutai Kertanegara Ing Martapura, setidaknya kerajaan Melayu yang bermula dari kerajaan Hindu pada tahun 1300 di Kutai Lama yang kemudian berubah menjadi kerajaan Islam pada 1575 serta berakhir pada 1960. Ibu kota kerajaan ini pada awalnya berada di Jaitan Layar sebelum berpindah ke Tepian Batu, kemudian ke Pemarangan-Jembayan hingga Tepian Pandan. Dalam perjalanan sejaraha kemudian, Kerajaan Kutai Kertanegara tercatat pernah menganeksasi Kerajaan Kutai Martapura pada tahun 1635, sehingga wilayah Kerajaan Kutai Kertanegara semakin luas dan nama kerajaan pun bertambah menjadi Kerajaan Kutai Kertanegara ing Martapura. ( Muhammad Sarip, 2018 : Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kertanegara. Indonesia: RV Pustaka Horizon).
Sikap bijak dalam membangun IKN Nusantara yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo, menurut Eko Sriyanto Gangendu hendaknya tidak mengabaikan nilai-nilai spiritual. Karena bagimana pun, IKN Nusantara akan melahirkan juga budaya suku bangsa Nusantara yang akan lahir kemudian – yang akan terus berproses dan berkembang – menjadi peradaban manusia baru di bumi. Apalagi mengingat keterbukaan masyarakat Kutai Kertanegara pada umumnya yang cukup ramah menerima kehadiran bangsa-bangsa dari mana saja di dunia – bukan hanya dari Nusantara dan sekitarnya saja – sudah berlangsung sejak abad ke-2 – seperti yang diungkapkan Pangeran Harry.
Jadi, IKN Nusantara itu kelak, akan menjadi milik seluruh suku bangsa yang ada di Nusantara ini, tandas Pangeran Harry. Karena itu, wakil para raja dan sultan serta masyarakat adat sepatutnya berada di DPR RI sebagai wakil rakyat yang merespresentasikan suara dan kehendak rakyat. Dalam rangkaian itu juga, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah selayaknya memberi perhatian terhadap masyarakat tempatan – Kutai Kertanegara – sebagai tuan rumah agar tidak sampai tergusur dari tanah para leluhurnya sendiri.
Pengalaman dari warga masyarakat Betawi, misalnya yang dibiarkan terus terdesak oleh warga masyarakat pendatang – tak hanya lokal tapi juga internasional – selayaknya dapat dijadikan pelajaran dan pengalaman agar dapat diantisipasi sejak awal, senyampang belum terjadi dan terlanjur terlambat dilakukan. Dan syarat untuk mendapat restu dari bumi Kutai Kertanegara memang harus dan mutlak dilakukan, dan jelas warga masyarakat setempat tidak boleh dibiarkan begitu saja menjadi penonton dari pembangunan dalam arti luas yang sedang dilakukan. Oleh karena itu, tandas Pangeran Harry yang juga pemerhati seni dan budaya masyarakat Kalimantan Timur ini, SDM masyarakat setempat patut dan harus mendapat perhatian agar ketimpangan sosial akibat dari sergapan beragam budaya yang dibawa oleh para pendatang dapat diimbangi hingga tidak menenggelamkan budaya masyarakat setempat.
Indonesia yang akan dikembalikan menjadi negara bangsa Nusantara – nation state – kata Ustad Ghufron perlu memiliki konsep budaya pembaharuan yang meliputi adat istiadat sesuai dengan watak manusia Nusantara yang religius untuk menyambut peradaban baru yang erat kaitannya dengan kehadiran IKN Nusantara di Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur. Sebab yang ideal dalam membangun itu tidak boleh merusak. Setidaknya, semangat membangun harus dibarengi oleh semangat memelihara, memperbaiki dan menyempurnakan tatanan kehidupan agar dapat lebih baik, lebih manusiawi dan lebih beradab dari kondisi sebelumnya.
“Jadi sikap budaya, spiritual – dari beragam suku bangsa Nusantara – sewajarnya diselaraskan dengan sikap budaya, spiritual dan keyakinan agama masyarakat Kutai Kertanegara yang beragam dan mejemuk dalam menata kerukunan yang harmoni – sebagaimana yang diidealkan dari makna kebhinekaan yang tunggal dan bersatu dengan rukun untuk saling menjaga martabat dan harga diri bangsa-bangsa se Nusantara. Karena itu, Ustad Ghufron pun sepakat pada apa yang menjadi harapan Eko Sriyanto Gakgendu agar para pemimpin dan tokoh dari berbagai agama yang ada di negeri ini dapat dilibatkan dalam prosesi spiritual untuk IKN. Karena untuk membangun – apalagi dalam dalam konteks membangun peradaban baru bagi manusia pada era milineal – mutlak dan harus dilakukan secara bersama, karena memang membangun yang semourna itu tidak bisa dilakukan sendiri.
Pembangunan dalam pengertian yang umum saja, menurut Pangeran Harry tidak bisa mengabaikan kultur satu masyarakat yang ada, apalagi untuk kultur warga masyarakat setempat yang kelak akan menerima begitu banyak dan bebannya yang berat. Realitasnya, pembangunan SDM di Indonesia Timur sebelumnya telah mengalami 30 tahun tertinggal dari daerah lain. Jadi memang harus dapat dicipyakan energi yang positif seperti yang dikatakan Ustad Ghufron, imbuh Pangeran Harry. Dan masa kejayaan yang pernah digapai Kerajaan Kutai Kertanegara di masa silam itu, hendaknya dapat dijadikan energi pembangkit dan pendukung guna membangun IKN Nusantara, bukan sebatas pengertian fisik belaka.
Menjawab pertanyaanWati Imhar Burhanudin, salah seorang peserta Zoom Metting, mengenai kekurangan dari prosesi upacara yang dilakukan Presiden bersama seluruh Gubernur dari Provinsi di Indonesia beberapa waktu lalu itu, dimana kemudian secara spontan dijawab oleh bencana alam dalam bentuk banjir yang meluap, menurut Pangeran Harry, kalua pun belum ada permintaan acara ritual khusus kepada pihak Keraton Kutai Kertanegara – sebagai pemilik dan penghuni bumi Kutai Kertanegara – semua bentuk prosesi ritual yang belum dilakukan termasuk dari pihak keraton Kutai Kertanegara, semua masih dapat dilakukan kemudian. Karena memang tak ada istilah terlambat untuk melakukan prosesi ritual berikutnya. *