Jakarta kilometer.co.id Sikap Muhammad Natsir Sahib secara pribadi terkait pemberitaan Detik.com dan CNN.com masih terus berlanjut. Sahib, ketua umum Forum Komunikasi Santri Indonesia (Foksi),Selasa (19/07) gelar nonton bareng (Nobar) podcast Deddy Corbuzier bersama Menko Invest Maritim dan Kelautan Luhut Binsar Panjaitan yang tayang 11 Maret 2022 berjudul Jokowi 3 Periode!? Gimana komen kalian?. Hadir sebagai narasumber akademisi ilmu politik dari Universitas Kristen Indonesia Fransiscus X Gian Tue Mail. Usai Nobar, M. Natsir Sahib membuka ruang tanya jawab dari undangan yang hadir.
Menurut Natsir acara Nobar digelar untuk memberi pembelajaran masyarakat supaya cerdas dalam membaca berita. Bahkan termasuk media yang menulis berita bersumber dari medsos semisal podcast di platform YouTube. “Tidak bisa itu menyimpulkan tanpa konfirmasi dan klarifikasi dari narasumber yang dikutip untuk jadi bahan berita” jelas Natsir.
Ia juga mengungkapkan bahwa hingga kini masih berjuang untuk meminta kejelasan putusan dari Dewan Pers soal aduannya terhadap pemberitaan detik.com dan cnn.com.
Seperti yang pernah diberitakan sebelumnya soal kalimat Big Data dari Luhut Panjaitan di podcast Dedy Corbuzier ramai diberitakan termasuk kedua media yang dilaporkan Natsir ke Dewan Pers. “Saya sayangkan ungkapan Big Data oleh kedua media ini dikaitkan dengan penundaan pemilu yang terkesan disampaikan oleh Pak Luhut, padahal tidak demikian yang diungkap dalam percakapan di podcast, beber Natsir.
Upaya Natsir mengadukan kedua media ini ke dewan pers di layangkan pada tanggal 28 April 2022, dijawab dewan pers tanggal 27 Mei yang isinya ada kesalahan pada pemberitaan kedua media tersebut. Namun pada 28 Mei 2022 datang surat lagi yang tertanggal 27 Mei 2022 meralat keputusan yang dikirimkan pada 27 Mei 2022. Yang isinya ada kesalahan dalam keputusan yang disampaikan. Berselang 4 hari tepatnya 31 Mei 2022 datang surat lagi dari dewan pers yang bunyinya menyatakan bahwa tidak ada kesalahan dalam pemberitaan. Menyikapi jawaban Dewan Pers, Natsir terus sampaikan keberatan atas keputusan tersebut melalui email namun tak kunjung di respon.
“Saya sebagai anggota masyarakat berhak menanyakan kebenaran dari sebuah pemberitaan, dan hak ini juga di atur dalam UU Pers terkait peran masyarakat terhadap Pers,” cetus Natsir.
Sementara menurut Fransiskus, analisis Big data tidak menghasilkan satu kesimpulan melainkan rekomendasi-rekomendasi yang menjadi alternatif kebijakan. “Tidak mudah menganalisis Big Data apalagi berisi percakapan di media sosial yang jumlah 110 juta akun” ungkapnya. Menurut Akademisi Politik UKI ini meski sudah ada beberapa Universitas yang membuka program studi analisis Big data, tapi tetap perlu kapasitas nalar kritis yang besar untuk memahami big data bila dikaitkan dengan sistem politik.
Fransiskus juga menyoroti terkait mengapa pembatasan kekuasaan hanya dilakukan pada kekuasaan Eksekutif, sementara kekuasaan legislatif tidak diatur pembatasan kekuasaan. “Bila Eksekutif dalam hal ini jabatan presiden dibatasi 2 periode kenapa seorang anggota legislatif tidak dibatasi 2 periode juga?, cetusnya. Ia menambahkan bila bicara sirkulasi kekuasaan mestinya tidak hanya dilakukan pada eksekutif saja, sebab legislatif juga soal kekuasaan. (Moko).