JAKARTA – kilometer.co.id Kasus HKBP Cilegon membetot perhatian banyak orang, dikarenakan ada keberatan beberapa masyarakat yang menolak keberadaan HKBP tersebut.Padahal tempat tersebut masih berupa tanah dengan bongkahan batu yang menggunung.
Perlu diketahui bahwa jarak Kota Serang dan Cilegon sekira 43 kilometer. Saban minggu, 850 kepala keluarga (KK) jemaat Huria Kriten Batak Protestan (HKBP) Maranatha, Cilegon, Banten pulang-pergi ke gereja di Serang selama 25 tahun ini. Jangankan ijin gereja HKBP, sampai sekarang dinilai belum ada inisiatif Pemerintah Kota (Pemkot) Cilegon mendirikan gedung guna untuk tempat ibadah umat Kristen di kota itu.
Benny Siagian, Pendeta Ressort HKBP Serang, Banten, menuturkan tentang ramainya jemaat dari Kabupaten Pandeglang, Serang, dan Cilegon yang beribadah di HKBP Kota Serang saban Minggu. Jadwal ibadah diatur bergantian sejak pagi hingga sore agar jemaat tidak ‘numplek’ di jam yang sama karena ruangan ibadah akan sesak dan kendaraan parkir mengambil sisi jalan raya sehingga macet.
Keadaan semacam itu sudah lama berlangsung. Tapi semakin ke sini, tambahan jemaat di tempat itu semakin banyak. Generasi baru yang rerata 25 tahun lalu duduk di sekolah minggu, kini dewasa dan berkeluarga. Belum lagi kedatangan jemaat pindahan dari berbagai kota yang berdomisili di sekitar Serang, Pandeglang, dan Cilegon, maka jemaat kian ramai saja di tempat itu.
Jemaat mula-mula di HKBP Serang telah memprediksi kondisi itu pada 25 tahun lalu. Maka dengan dana swadaya yang terkumpul, dibelilah sebidang lahan di daerah Cilegon, yang kemudian ditukar guling (ruislag) dengan milik PT Nusaraya seluas 3.915 meter (m2) di Jalan Raya Merak pada 2006. Letaknya, tak jauh dari SPBU Merak, sisi kanan setelah kendaraan keluar dari pintu tol Merak dari arah Jakarta.
Di lahan itulah rencananya dibangun HKBP Maranatha Cilegon. Panitia pelaksana telah mengumpulkan tandatangan persetujuan dari 70 warga setempat. Tapi belakangan niat tadi ditolak sekelompok orang atas alasan tidak boleh ada gereja di Cilegon. Alasan yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
S.Samosir, Ketua Perijinan Lahan HKBP Maranatha Cilegon, menyayangkan bahwa selama ini tidak ada usaha Pemerintah Kota Cilegon melakukan pendekatan kepada masyarakat setempat agar bisa menerima kehadiran HKBP. Sebab ketika ruislag tanah antara PT Nusaraya dan HKBP dilakukan pada 2006, Pemkot Cilegon menyetujui ruislag dan mengetahui akan dibangun gereja di lokasi itu.
Menurut dia, penolakan gereja di Cilegon semestinya tidak terjadi bila antarpemangku kepentingan berdialog dan mendekati masyarakat tentang rencana jemaat HKBP membangun gereja. Namun alih-alih berperan sebagai penengah, Pemkot Cilegon malah bersikap pasif. Terbukti ketika di lokasi itu dibangun plang tanah milik HKBP, tetiba sekelompok warga meminta agar pembangunan dihentikan.
“Kami belum membangun apa-apa di sini. Bebatuan yang berasal dari urukan bukit, kami minta dipindahkan oleh pemiliknya agar lahan kami kosong,” katanya