Penyelesaian masalah sehubungan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sudah cukup lama. Padahal, obligator atau debitur yang memiliki kewajiban kepada Pemerintah yang sudah sejak lama seharusnya menyelesaikannya. Terlepas dari fakta lamanya penyelesaian masalah BLBI ini, setelah diterbitkannya Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas penyidikan terhadap Sjamsul Nursalim dan istrinya. Berselang tidak lama setelah itu, pada tanggal 6 April 2021, Pemerintah berdasarkan Keppres No.6 Tahun 2021 membentuk Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara BLBI (Satgas BLBI) untuk pemburuan atau menagih uang negara dari obligator yang nilainya mencapai Rp.110 Triliun.
Satgas BLBI terdiri dari Pengarah ada 5 (lima) Menteri, termasuk Jaksa Agung dan Kapolri. Pelaksana terdiri dari: Ketua Satgas: Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan; Wakil Ketua Satgas: Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung; Sekretaris: Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan dan lainnya.
Tidak dilibatkannya KPK di dalam Satgas BLBI adalah tepat, mengingat tugas KPK adalah melakukan penyelidikan, penyidikan dan melakukan penuntutan perkara pidana korupsi. Dengan demikian, tepat jika KPK tidak dimasukkan dalam tim Satgas BLBI ini. Apalagi KPK sendiri sudah menghentikan penyidikan atas perkara ini. Namun, KPK sebagai lembaga penegak hukum haruslah mendukung pelaksanaan tugas dari Satgas BLBI, misalnya memberi data-data untuk memudahkan dan mempercepat Satgas BLBI bekerja.
Secara hukum, awalnya hubungan hukum dalam BLBI adalah hubungan hukum perdata. Dimana skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter 1998 adalah berdasarkan kesepakatan atau perjanjian. Namun, dalam perjalanannya ternyata ada dugaan perbuatan pidana korupsi sehubungan dengan penyaluran BLBI dan penyelesaiannya yang berkaitan dengan diterbitkannya surat keterangan lunas (SKL) BLBI, sehingga KPK menyidik bahkan memproses beberapa orang sampai di Pengadilan termasuk mantan ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung.
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Syafruddin Tumenggung dihukum 13 (tiga belas) tahun penjara dan di denda Rp.700.000.000,- dan pada tingkat Penggadilan Tinggi diperberat hukuman menjadi 15 (lima belas) tahun dan denda Rp. 1.000.000.000,-. Namun, pada tingkat Mahkamah Agung, Syafruddin Temenggung divonis lepas dari segala tuntutan (onslag van recht vervolging) dimana Mahkamah Agung menyatatakan perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi perbuatan tersebut tidak merupakan tindak pidana melainkan masalah perdata.
Putusan Mahkamah Agung terhadap Syafruddin Temenggung tersebut berpengaruh kepada perkara-perkara lainnya yang sedang diproses KPK. Termasuk terhadap penyidikan Sjamsul Nursalim yang akhirnya KPK mengeluarkan SP3 terhadap Sjamsul Nursalim dan istri. SP3 ini adalah SP3 perdana sejak Revisi UU KPK.
Dikeluarkannya SP3 oleh KPK tersebut telah menimbulkan polemik, bahkan termasuk masyarakat anti korupsi (MAKI) yang mempertanyakan dikeluarkannya SP3 terhadap seorang tersangka yang sedang masuk daftar pencarian orang atau buron, sehingga MAKI akan mengajukan praperadilan.
Namun, terlepas dari hal tersebut, dengan adanya pembentukan Satgas BLBI adalah suatu hal yang sangat tepat dan memberi harapan baru untuk pengembalian uang negara. Sudah cukup lama proses penyelesaian BLBI ini dan Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI yang dibentuk pemerintah saat ini, juga bukanlah yang pertama, karena sebelumnya sudah ada beberapa lembaga yang dibentuk untuk menyelesaikan antara lain BPPN dan PT Perusahaan Penjualan Asset (PPA), namun belum tuntas.
Sudah seyogianya Satgas BLBI yang dibentuk saat ini mengejar pengembalian uang negara. Diharapkan satgas BLBI ini adalah yang terakhir dan bisa bekerja tepat, cepat serta akurat dalam mengejar pengembalian uang dari obligator antara lain menagih, membuat upaya hukum atau mengajukan gugatan perdata serta mengajukan sita bahkan mengeksekusi harta-harta milik obligator berdasarkan putusan. Dengan demikian, uang negara segera dikembalikan dan adanya kecurigaan masyarakat terhadap Satgas ini hanya untuk kepentingan politik akan menjadi sirna.
Meskipun para obligator banyak hengkang keluar negeri, maka semua obligator tersebut dapat digugat secara perdata di Pengadilan Indonesia, dan seluruh aset-asetnya, terutama yang telah dijadikan jaminan dapat segera disita. Apabila sudah ada putusan, maka seluruh aset dari obligator yang ada di negera manapun dapat disita dan dieksekusi, bahkan dalam proses pelaksanaan eksekusi apabila Obligator tidak membayar kewajibannya setelah adanya putusan pengadilan, dapat digunakan lembaga gejzeling (penyanderaan) sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Negara Republik Indonesia dapat berkembang perekonomiannya saat ini maupun kedepannya, salah satu caranya adalah adanya upaya penegakan hukum yang secara tegas terutama dibidang korupsi. Terlepas daripada masalah BLBI ada atau tidaknya tindak pidana korupsi, namun selama ini masih ada dugaan permainan dalam penegakan hukum karena selama ini sebenarnya ada atau tidaknya masalah pidana dalam perkara BLBI. Sejak awal Pemerintah, baik yang lalu maupun yang sekarang, dapat melakukan upaya penagihan atau proses hukum secara perdata.
Jadi, tidak harus menunggu adanya penyelesaian secara pidana seperti sekarang. Sehingga tidak relevan alasan menyatakan masalah ini pidana atau perdata karena dua-duanya pada saat bersamaan dapat dilaksanakan secara simultan. Namun demikian, keadaan saat ini, masyarakat tidak perlu pesimis atau berburuk sangka, tetapi sebagai warga masyarakat kita harus mengikuti perkembangannya serta mengkritisi apabila penangannya BLBI lambat atau tidak berjalan.
Dalam kasus BLBI ini, sekalipun Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD, S.H., M.H., S.U., M.I.P. selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan yang dalam beberapa wawancaranya tentang BLBI pasca dikeluarkannya SP3 oleh KPK menyatakan bahwa kalau kemudian ada pidananya masih dapat di proses. Pendapat ini adalah tidak tepat lagi, karena menurut teori hukum dan dalam praktek penyidikan perkara ini secara pidana untuk saat ini sudah daluwarsa, karena tempus delicti (waktu kejadian) perbuatan dilakukan pada tahun 1998, atau setidak-tidaknya sudah lewat 18 tahun.
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP) Pasal 78, terhadap perbuatan pidana dengan ancaman hukuman tertinggi, yakni seumur hidup atau hukuman mati saja daluwarsa adalah setelah 18 (delapan belas) tahun, sedangkan tempus delicti (waktu kejadian ) perkara ini sudah lebih dari 18 tahun (sudah 22 tahun), sedangkan khusus dugaan pidana yang berkaitan dengan diterbitkannya Surat Keterangan Lunas (SKL) yang diterbitkan tahun 2004 daluwarsanya tinggal 11 (sebelas) bulan lagi. Oleh karenanya kita tidak perlu lagi memikirkan perkara ini untuk di proses secara pidana karena akan sia-sia apalagi sudah ada SP3 yang dikeluarkan KPK.
Namun, yang perlu diingatkan kepada Satgas BLBI adalah bahwa secara hukum perdata masalah ini pun bisa daluwarsanya. Oleh karenanya, Satgas BLBI harus segera melakukan upaya hukum perdata sebelum perkara ini daluwarsa, karena secara hukum perdata sesuai dengan ketentuan Pasal 1967 KUHPerdata menentukan bahwa penagihan Piutang daluwarsa setelah lewatnya waktu 30 tahun. Uang Rp.110 Triliun yang merupakan uang negara yang jumlahnya sangat besar haruslah segera diburu oleh Satgas BLBI secara cepat sebelum daluwarsa dan uang tersebut segera dapat digunakan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia yang saat ini dalam keadaan susah.
Oleh : Jhon SE Panggabean, S.H., M.H. Penulis adalah advokat dan pengamat hukum.