Jakarta, kilometer.co.id- Bergulirnya Reformasi pada tahun 1998 ikut mendorong terciptanya desentralisasi kekuasaan di Tanah Air. Otonomi Daerah (Otda) menggantikan sistem pemerintahan sentralistik ala Orde Baru yang terpusat di Pulau Jawa, khususnya Jakarta.
Pasca runtuhnya Orde Baru, Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk mengelola keuangan daerahnya secara mandiri, melalui kebijakan Desentralisasi Fiskal yang bertujuan menyejahterakan daerah dan masyarakatnya. Kewenangan itu ikut diatur dengan Undang-Undang No. 2 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, serta UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Mencermati pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Tanah Air, Direktur Pusat Kajian Otonomi Daerah Universitas Kristen Indonesia (PKOD-UKI), Dr. Agustin Teras Narang S.H.,M.H, menilai bahwa sejumlah perubahan yang dilakukan terhadap sejumlah UU guna mendukung terlaksananya Desentralisasi Fiskal masih menemui sejumlah kendala di lapangan. Secara khusus, masih adanya kebijakan dari Pemerintah Pusat yang dirasa belum berpihak kepada Pemerintah Daerah.
“Ada kebijakan-kebijakan Pemerintah Pusat yang belum berpihak kepada Pemerintah Daerah. Ada kebijakan-kebijakan di dalam desentralisasi, yang semestinya desentralisasi Fiskal. Bukan lagi sentralisasi, bukan lagi tergantung di Lapangan Banteng, bukan lagi tergantung di Senayan,” ujar Teras Narang saat memaparkan materi di Seminar Nasional bertajuk “Implementasi Otonomi Khusus Papua Dalam Rangka Pemerataan Pembangunan Daerah”, yang dihelat bertepatan dengan peluncuran PKOD-UKI, di Graha William Soeryadjaya, Kampus UKI Cawang, Jakarta Timur, Senin pagi (30/09/2019).
Dalam catatan kritisnya Teras Narang juga menyoroti perubahan Undang-Undang secara yang tidak langsung ikut membuat pihak Pemerintah Daerah bersikap pasif dan menunggu “kebaikan” dari Pemerintah Pusat.
Padahal, lanjutnya, Desentralisasi Fiskal seharusnya direspon dengan sikap proaktif dari Daerah dengan cara menggenjot fungsi dari BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) milik mereka. Sehingga, Daerah dapat secara mandiri mendukung pembangunan masyarakat yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) sendiri, tanpa harus selalu “bermanja” kepada Pemerintah Pusat.
Mantan Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng)periode 2005 hingga 2015 itu kemudian memaparkan pengalamannya dalam menangani masalah kondisi fiskal di wilayah yang dipimpinnya. Dirinya menjelaskan, Kalteng dengan luasan wilayah mencapai 1.5 kali pulau Jawa hanya memiliki PAD sebesar 236 milyar Rupiah, di tahun 2005,
Menyikapi keadaan itu Teras kemudian berupaya meminta kepada masyarakat agar memberikan waktu selama 3 tahun kepadanya, untuk menaikan PAD . Terbukti, di tahun pertama dirinya menjabat, PAD Kalteng menembus angka 596 milyar Rupiah. Namun rupanya masih ada persoalan lain yang harus dihadapi terutama dalam urusan pembiayaan pembangunan Daerah. Hal ini disebabkan tingginya biaya rutin yang harus dikeluarkan Provinsi, yang mencapai 82 persen dari total PAD.
“Kalimantan Tengah itu luasnya 1,5 kali Pulau Jawa. Pulau Jawa itu ada 6 Provinsi, DKI Jaya, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Yogyakarta. Kalimantan Tengah itu 1,5 kali Pulau Jawa, dapat 13 Kabupaten dan di satu Provinsi. Saya janji, kalau saya dalam tiga tahun tidak mampu mengangkat APBD menjadi 1 trilyun lebih, saya mundur. Biar apa? Biar pertanggungjawaban saya kepada rakyat Kalimantan Tengah, bahwa saya ternyata tidak mampu untuk mengangkat ini,” jelasnya.
Namun, alumni Fakultas Hukum UKI ini bersyukur karena janjinya kepada masyarakat dapat dipenuhi. Target untuk mendapatkan 1 trilyun Rupiah dapat dicapainya.
“Tahun kedua, di 2006, hampir 1 trilyun, yaitu 930 milyar. Eh, di tahun ketiga tembus 1,1 trilyun Rupiah. Puji Tuhan, alhamdulillah. Terakhir, hampir mencapai 4 trilyun,” pungkasnya.