Minggu ini 14 April 2019, dalam minggu gerejawi dinamai Minggu Palma. Dalam liturgi gerejawi, Minggu Palma adalah minggu peringatan yang selalu jatuh pada hari minggu sebelum Paskah. Peristiwa ini merujuk pada peristiwa yang dicatatkan pada ke empat injil, yakni Matius 21:1-11; Markus 11:1-11; Lukas 19:28-44 dan Yohanes 12:12-19. Dalam minggu Palma, diperingati peristiwa masuknya Yesus ke kota Yerusalem sebelum Ia di salibkan.
Dalam perspektif sosio-politis, peristiwa masuknya Yesus ke kota Yerusalem, dan yang mendapat penyambutan dari massa rakyat dengan mengelu-elukan Hosanna sebagai nyanyian penyambutannya adalah sebuah penanda kuatnya imajinisasi mesianik di lekatkan pada Yesus. Imajinasi tentang datangnya seorang Mesias yang akan membawa pembaharuan atas sebuah sistem kehidupan. Sistem kehidupan yang dirasa menindas, manipulatif dan diskriminatif, yang pada saat itu dialami massa rakyat di bawah penindasan dan kekuasaan Romawi.
Namun beberapa hari kemudian imajinasi itupun berubah arah. Penyambutan dgn nyanyian “Hosana” berubah menjadi “kutuk” penyaliban “Salibkan..Salibkan”. Apakah Yesus tidak sadar bahwa nyanyian imajinatif hosana tersebut akan berubah menjadi kutuk penyaliban?
Saya teringat pada Rene Girrad dgn Scapegoat-nya. Sebuah mekanisme kambing hitam yang bekerja dalam sebuah proses sosial-agama-politik. Melalui perspektif ini kedatangan Yesus ke Yerusalem dapat dilihat sebagai sebuah proses terjadinya pengkambing hitaman, namun juga sekaligus terjadinya penelanjangan terhadap sistem dan struktur kehidupan yang korup, menindas, diskriminatif dan manipulatif.
Kedatangan Yesus ke Yerusalem, yang diperingati dalam peristiwa minggu Palma ini ternyata telah menimbulkan kekuatiran bagi penguasa politik dan agama saat itu. Pilihan Yesus dalam pelayanannya memberitakan tentang Kerajaan Allah, bersama dengan orang-orang pinggiran dan menjadikan “pinggiran” dan orang-orang pinggiran, yang tertindas dan menjadi korban dehumanisasi entah secara sosiologis, politis ataupun religious menjadi pusat cinta kasih Allah telah mengganggu kestabilan sosial-politik agama. Harapan tentang kehadiran kerajaan Allah yang diberitakan Yesus tidak hanya berdimensi fururis tapi juga presentis telah membangkitkan harapan bagi orang-orang pinggiran, yang secara harfiah tersingkir dari kehidupan sosial, moral bahkan keagamaan. Tapi sebaliknya mengganggu status quo politik dan agama.
Yesus menelanjangi struktur dan sistem kehidupan yg dimanipulasi oleh tikus-tikus busuk atas nama politik dan agama. Yesus menelanjangi oportunisme berbaju politik dan agama yg dimanipulasi untuk menumpuk harta dan kekuasaan demi kepentingan dirinya sendiri. Bahkan Yesus menampilkan secara vulgar wajah-wajah mereka yang selama ini berada dalam persembunyiannya.
Inilah yang akhirnya mendasari rekayasa politik kambing hitam oleh koalisi elit politik dan agama. Dengan mengeksploitasi dan mengkapitalisasi keyakinan pada massa rakyat melalui proses demagogi, propaganda dan mobilisasi kebencian pada akhirnya menggeser penyambutan dan pengharapan pada kedatangan Yesus yang berpuncak pada salib.
Yesus adalah kambing hitam, korban dari perselingkuhan oportunisme kekuasaan yg telah mapan dan nyaman dengan memanipulasi kehidupan dalam jubah politik dan agama. Yesus adalah kambing hitam dari ketersinggungan tikus-tikus berbau busuk yang keluar dari got dan gorong-gorong persembunyiannya. Yesus adalah kambing hitam karena menunjuk hidung politikus busuk yg hidup dengan nyaman di atas penderitaan rakyat yg terus dimanipulasi. Kedatangan Yesus ke Yerusalem adalah proses penyingkapan secara vulgar wajah kekuasaan yang berselingkuh dengan agama yang korup dan manipulatif.
Membaca Minggu Palma dan Peng-Kambing Hitam-an Yesus dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, akhir-akhir ini terasa vulgar mewujud dalam oportunisme di ruang-ruang politik dan keagamaan. Politik kontestasi yang mengkapitalisasi identitas primordial sebagai senjata pamungkas meraih kekuasaan adalah wujud paling vulgar dari sistem dan struktur yang manipulatif, menindas dan diskriminatif. Dan massa rakyat, (tidak lagi personal namun komunal) adalah korban dari perselingkuhan oportunisme politik dan agama ini, menjadi korban yang terus di kapitalisasi dan di manipulasi identitas keagamaannya maupun menjadi korban yang diamputasi subjek politiknya oleh oligarki kekuasaan. [Penrad Siagian]