Kilometer.co.id Jakarta – Dalam upaya meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, Pewarna Indonesia menggelar diskusi bertajuk “Ingin Mati Bukan Tanda Kurang Iman, Melainkan Butuh Pertolongan” di Media Center PGI Salemba, Jakarta Pusat. Acara ini mempertemukan para ahli lintas bidang, antara lain; dr. Theresia Citraningtyas, MWH, PhD, Sp.KJ (Wakil Rektor III UKRIDA), August Hamonangan, S.H., M.H. (Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta), dan Dr. Ashiong Munthe, S.Th., M.Pd. (Pengurus Pusat Pewarna Indonesia), dengan tujuan membuka mata masyarakat terhadap urgensi dukungan bagi mereka yang mengalami krisis mental. Diskusi itu dipandu oleh Nick Irwan sementara bertugas menjadi koordinator adalah Elly Wati Simatupang.
Dr. Theresia Citraningtyas, dalam pemaparannya, memberikan sudut pandang yang menyentuh hati: “Keinginan untuk mati bukanlah refleksi lemahnya iman seseorang, melainkan jeritan permohonan akan pertolongan.” Ia menegaskan pentingnya bagi masyarakat untuk merespons dengan empati, tidak menghakimi, dan fokus pada penyembuhan. “Sebagai bagian dari komunitas, kita memiliki tanggung jawab menciptakan lingkungan yang mendukung pemulihan, termasuk dalam peran kita sebagai penulis dan penyampai informasi,” tambahnya.
Dr. Citraningtyas menyoroti pentingnya pendekatan yang berfokus pada penyembuhan, baik dalam tindakan sehari-hari maupun dalam konten media. Ia mengingatkan bahwa kata-kata memiliki kekuatan besar, yang bisa membawa penyembuhan atau malah memperburuk situasi krisis.
Sementara itu, August Hamonangan dari DPRD DKI Jakarta menekankan bahwa pemerintah harus memberikan dukungan yang lebih kuat dalam penyediaan layanan kesehatan mental. “Kami harus memastikan bahwa setiap orang memiliki akses yang mudah ke layanan ini, melalui regulasi yang berpihak pada kesehatan mental,” tegasnya. Dengan dukungan kebijakan yang tepat, ia berharap langkah-langkah preventif dan solusi dapat diterapkan secara efektif, menciptakan jaringan pertolongan yang siap siaga di tengah masyarakat.
Dr. Ashiong Munthe menekankan pentingnya agama sebagai sumber kekuatan spiritual, namun dengan catatan bahwa dukungan spiritual ini harus seimbang dengan bantuan profesional. “Pendekatan holistik sangat dibutuhkan, di mana komunitas agama berperan dalam memberikan pengharapan, tetapi tetap mengandalkan bantuan psikologis dari tenaga ahli,” ujarnya.
Diskusi tersebut tidak hanya menjadi ajang berbagi ilmu, tetapi juga sebuah panggilan refleksi. Nick Irwan, selaku moderator, menanyakan: “Bagaimana kita sebagai masyarakat dapat memberikan reaksi yang konstruktif ketika berada di sekitar orang yang mengalami tekanan berat? Apakah kita membantu atau malah memperburuk kondisi mereka?” Pertanyaan ini menjadi bahan renungan bagi para peserta, yang hadir dari berbagai elemen masyarakat, media, dan organisasi.
Dalam kesimpulannya, diskusi ini menegaskan bahwa isu bunuh diri bukanlah persoalan individu semata, melainkan sebuah tanggung jawab kolektif yang menuntut kepedulian dan tindakan nyata dari setiap lapisan masyarakat. Pewarna Indonesia mendorong agar masyarakat tidak hanya terfokus pada isu-isu politik praktis, tetapi juga berperan aktif dalam isu-isu kemanusiaan yang krusial, seperti kesehatan mental.
Melalui diskusi ini, Pewarna Indonesia menunjukkan komitmennya untuk menjadi bagian dari komunitas penyembuh yang proaktif, mengajak masyarakat untuk membangun budaya empati dan solidaritas dalam menghadapi isu bunuh diri. Mereka terus mendorong kolaborasi lintas sektor demi mencegah tindakan bunuh diri di Indonesia, menempatkan empati dan dukungan psikologis sebagai pilar utama dalam menciptakan perubahan sosial yang lebih baik.
Dengan memperkuat jaringan pendukung dan meningkatkan kesadaran, Pewarna Indonesia berharap dapat menciptakan ruang aman bagi mereka yang sedang berjuang, sehingga tidak ada lagi yang merasa sendirian dalam menghadapi pergulatan mentalnya.