Film Invisible Hopes bukan mencari kesalahan hanya memperbaiki kondisi anak-anak lahir di penjara

Jakarta kilometer.co.id Lamtiar  Simorangkir sutradara dan prosuder Invisible Hopes di bawah Lam Horas Film sebuah komunitas dan perkumpulan mengangkat film tentang persoalan masyarakat kita. Sebagai filmmaker bertujuan menolong Ibu dan anak lahir yang dibesarkan di penjara.

“Saya membuat film ini, bukan untuk mencari kesalahan pihak tertentu, namun bertujuan  memperbaiki kondisi terutama anak-anak di penjara.  Tentang cerita pengalaman Lamtiar saat riset di Penjara Semarang, ada seorang ibu hamil dan terkesan LP (negara)  tidak siap.

Kembali melalui  film ini Lamtiar merasa terpanggil menolong narapidana hamil dan anak-anak, hingga mendapatkan perlakuan yang terbaik. Disisi lain juga ingin adanya perubahan di Lembaga-lembaga Pemasyarakatan di seluruh Indonesia.

Ketika ditanyakan saat mengambil gambar Lamtiar menegaskan selama produksi film  ada 40 ibu hamil dengan 17 kelahiran selama shooting berlangsung.  Jika di awal-awal gambar agak goyang memang ruang terbatas dan yang mengambil gambarpun dirinya sendiri, ini  sebab sudah ada perjanjian dengan Ibu Kalapas dan Ibu Rutan fokus ibu hamil dan anak saja.

Setelah nonton bareng diskusipun berlangsung seru membahas tema terkait nasib perempuan dan anak yang lahir di penjara menghadirkan narasumber sebagai pembahas berlangsung di Aula Pasca Sarjana Kampus UKI Diponegoro antara lain Lamtiar Simorangkir Dr. Aartje Tehupeiory, S.H.,M.H., CIQAR.,CIGNR, Pdt Sylviana Apituly dan Dr. Bernard Nainggolan.

Lamtiar Simorangkir (Sutradara) baju putih bersama narasumber dalam diskusi film Invisible Hopes

Dalam diskusi tersebut Dr. Aartje Tehupeiory, S.H.,M.H., CIQAR.,CIGNR seorang dosen dan pemerhati perempuan melihat dari film ada tiga kebutuhan antaranya kebutuhan fisik, psikis (emosional) dan rohani. Terkait regulasi UU no 4 79 ttg kesejahteraan, UU No 17 tahun 2016 ttg perubahan perlindungan anak dan  UU 32 ttg tata cara warga binaan masyarakat.

Lebih lanjut bahwa film ini mengisahkan kisah  hidup perempuan bagaimana melahirkan anak di penjara dengan segala penderitaannya.  Karena kita harapkan Pak Jokowi bisa fokus menambah anggaran lapas, dan mohon memisahkan ibu hamil dan anak.

Secara internasional Mandela Role diatur di sana perempuan punya hak  akumodasi setelah melahirkan. Hak perempuan adalah hak azasi, sesuai UU 39 Hak  memperoleh kesejahteraan, hak pemeliharaan dan hak untuk dibimbing, baik dalam kandungan dan saat dilahirkan.

” Mari sama-sama  inisiasi gerakan untuk perlindungan  perempuan dan anak,   harus  terus disosialisasikan. Jangan sampai kehilangan pengasuhan dan hak hidup”, tandasnya.

Pdt Sylviana Apituly dari GPIB sebagai seorang rohaniawan yang juga mencalonkan diri sebagai KOMNAS Perempuan ini menanggapi bahwa tidak salah  FFI  memberikan penghargaan  sebagai film dokumenter panjang terbaik. Film ini berhasil menegaskan ke publik masalah perempuan dan anak adalah puncak gunung es yang terjadi di Lapas.

Saling mengunci faktor gender, kelas sosial dan lainnya. Dalam analasis kelompok pemerhati masalah perempuan di tahanan adalah sebuah mata rantai terkait tiga hal yaitu kemiskinan, ketergantungan dan kekerasan.

Dari segi pendalaman masalah perempuan ada tiga masalah tadi film ini.  Umumnya perempuan ditinggalkan suaminya dan keluarga tidak mau mengurus. Dan ini sangat rentan anak dilahirkan di rutan berpotensi diabaikan dilingkungan.

Secara teolofis penggambaran hidup anak di penjara bukan segambar dengan Allah, anak lahir di penjara. Sesuai Psl 1 Deklrasi HAM, Ada 30 hak dijamin. Hak identitas, perlindungan khusus dan lainnya. Gambaran kisah Ibu Midun, IFI  dan perempuan lainnya merupakan cerminan perempuan yang mendekam di penjara.

Sebagai narasumber satu-satunya laki-laki Dr. Bernard Nainggolan Ketua Yayasan Komunikasi Indonesia saat menyampaikan padangannya saat diskusi,  film ini tidak biasa-biasa saja namun memiliki kekuatan terutama menyampaikan pesan penderitaan perempuan dan anak di penjara. Menonton film ini sama seperti menonton diri sendiri. Terutama kaitannya dengan pengarusutamaan gender dan perlindungan anak.

“Saya kira kita bukan lagi bicara  law of book tapi law in action. Secara teoritis bagaimana UKI bisa bicara gerakan hukum terkait bias gender yang  kita konkritkan hari ini,” tanggapnya.

Karena YKI bergerak dalam gerakan politik, bahwa hasil kerja Lamtiar Simorangkir tidak cukup hanya jadi tontonan semata tetapi harus berbuat sesuatu terkait nasib ibu hamil dan anak di penjara. Maka gerakan-gerakan  politik akan  kita lakukan di YKI.

“Hukum tidak hadir di ruang hampa, membicarakan ibu dan anak di penjara, itu bagian perjuangan. Lewat film ini kita seharusnya nonton diri sendiri,” tutupnya. Yus

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *