Oleh : Yudhie Haryono (CEO Nusantara Centre)
Agus Rizal (Ekonom Universitas MH Thamrin)
Kilometer.co Jakarta Jika pasar (swasta) lebih kuat dari negara, yang terjadi adalah ekonomi oligarki/negara swasta. Ini sudah lama dikritik karena menghasilkan stabilitas kesenjangan dan ketimpangan akut. Karena itu, ekonomi pancasila merumuskan perimbangan demokratis (kesetimbangan) antar tiga pelaku ekonomi: Koperasi-BUMN-Swasta.
Karenanya, dalam RUU Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial (RUUPNKS) yang sedang bergulir terdapat kebijakan pelaku perekonomian nasional yang menegaskan trias ekonomikus: Koperasi, BUMN dan Swasta sebagai pilar utama. Ketiga pilar tersebut diposisikan untuk kolaborasi saling melengkapi, bukan predatori.
Di situ, BUMN memegang kendali atas cabang produksi dan aset vital serta strategis nasional; Koperasi memperkuat basis warga negara; sementara Swasta bergerak dalam sektor non-strategis dengan prinsip persaingan sehat. Konsep ini lahir dari kesadaran bahwa tanpa keseimbangan, ekonomi hanya akan dikuasai oleh segelintir pihak yang menghancurkan kemanusiaan.
RUUPNKS ini juga menekankan pentingnya mempertahankan BUMN strategis sekaligus mengoreksi kebijakan privatisasi masa lalu yang terbukti melemahkan kedaulatan ekonomi. BUMN tidak boleh lagi dijadikan alat politik atau sapi perah kekuasaan, melainkan harus dikelola profesional, transparan, dan fokus pada kepentingan warga negara. Dengan begitu, BUMN kembali menjadi motor pembangunan, bukan sekadar entitas bisnis semata.
Selain itu, posisi Koperasi ditempatkan sejajar sebagai soko guru perekonomian nasional. Koperasi tidak boleh hanya menjadi instrumen retoris, melainkan harus ditumbuhkan sebagai badan usaha modern yang mampu meningkatkan daya saing UMKM dan memperluas kepemilikan ekonomi di tangan warga negara. Penguatan koperasi berarti memperkuat struktur ekonomi akar rumput dan menutup celah ketimpangan yang selama ini terus melebar.
RUUPNKS pastilah mengakui peran Swasta dalam mendukung pembangunan ekonomi nasional. Namun swasta diberi ruang dengan regulasi yang tegas agar tidak menciptakan monopoli, oligopoli, mafia atau dominasi pasar. Kehadiran Swasta diperlukan untuk efisiensi, prestasi dan inovasi, tetapi tetap dalam kerangka ekonomi yang berkeadilan. Dengan demikian, kontribusi Swasta tidak merugikan kepentingan publik, melainkan menjadi bagian dari sinergi pembangunan.
Pemerintah sendiri diposisikan sebagai pelaku perekonomian yang bertugas menjamin keadilan distribusi, melindungi sektor strategis, serta memberikan perlakuan afirmatif kepada Koperasi dan UMKM. Ini penting agar struktur ekonomi tidak lagi timpang. Tanpa keberpihakan afirmatif, Koperasi dan usaha kecil akan selalu kalah bersaing melawan modal besar, baik dalam negeri maupun asing.
Makna kebijakan pelaku perekonomian nasional ini jelas: dalam kerangka akademik ditegaskan trias ekonomikus (BUMN, Koperasi, Swasta) sebagai kekuatan inti pembangunan. Sementara dalam norma hukum RUU, daftar pelaku diperluas dengan memasukkan Pemerintah sebagai aktor resmi, dan UMKM sebagai aktor penting.
Perumusan ini menegaskan dua hal. Pertama, keseimbangan antar pelaku adalah instrumen untuk mencegah monopoli oleh satu pihak. Kedua, kehadiran Pemerintah sebagai pelaku memperkuat peran negara sebagai penjaga kepentingan warga negara, memastikan BUMN, Koperasi, dan Swasta beroperasi dalam kerangka keadilan sosial. Ontologinya adalah national interest.
Sebagai wujud nyata keberpihakan itu, RUU ini mewajibkan Pemerintah Pusat dan Daerah mengalokasikan minimal 30% dari nilai belanja pengadaan barang dan jasa untuk produk serta jasa koperasi dan UMKM. Kebijakan afirmatif ini menjadi jembatan antara prinsip dengan praktik. Artinya, koperasi dan UMKM tidak hanya diakui sebagai pelaku ekonomi penting, tetapi juga mendapatkan pasar yang terjamin melalui belanja negara.
Dengan alokasi ini, usaha kecil memiliki peluang berkembang lebih besar, memperkuat daya saing lokal, meningkatkan kemajuan dan inovasi sekaligus menciptakan pemerataan ekonomi yang lebih nyata. Pemerataan inilah yang akan menumbuhkan.
Singkatnya, RUUPNKS hadir sebagai koreksi historis dan jalan baru menuju ekonomi Pancasila. Dengan trias ekonomikus sebagai fondasi, ditambah Pemerintah sebagai pelaku aktif, pembangunan ekonomi tidak hanya mengejar pertumbuhan, tetapi juga memastikan pemerataan kesejahteraan sosial.
Urgensinya semakin jelas: tanpa payung hukum ini, kemiskinan tak hilang, ketimpangan tetap bertahan, kesenjangan tertakdirkan, dan kedaulatan ekonomi tidak pernah pulih. Karena itu, RUU ini harus segera disahkan mejadi UU agar arah pembangunan Indonesia benar-benar berpihak pada warga negara, bukan pada segelintir pemilik modal. Inilah saat yang paling tepat, bukan nanti atau melupakannya.
Bukankah kita tak ingin jadi pengkhianat pada para pendiri republik? Tak ingin memunggungi konstitusi dan tak mau dikutuk ahli waris negara Indonesia? Sebaliknya, semoga kita ditakdir jadi patriot Pancasila.(*)