Kilometer.co.id Jakarta Pendeta Gomar Gultom ketua umum PGI perwakilan Umat Kristen dalam pertemuan dalam halal bihalal yang digelar oleh Forum Indonesia damai yang terdiri dari para tokoh agama antaranya Kardinal Ignatius Suharyo, Romo Antonius Suyadi Komisi HAAK KAJ (Katolik), Pemimpin Spiritual Nusantara Sri Eko Sriyanto Galgendu, Pendeta Gomar Gultom Ketua Umum PGI, Budi S. Tanuwibowo, Ketua Matakin, Engkus Ruswana Ketua MLKI, Wisnu Bawa Tenaya PH. PHDI, Drs.Piandi Ketua Permabudhi, Azisoko FPID.
Di kesempatan itu Gomar mengatakan sudah selayaknya kita bersyukur bahwa kita melewati Pemilu dengan lancar dan damai. Pastilah hasil pemilu ini tidak bisa memuaskan semua pihak, termasuk kita yang berkumpul hari ini. Ada begitu banyak kekecewaan, ada begitu banyak kemarahan, oleh tingkah ulah para penguasa maupun para kontestan pada pemilu lalu. Tapi bagaimana pun, kita harus terima hasilnya. Rakyat sudah menentukan pilihan, terlebih MK sudah mengambil keputusan. Maka saatnya kita kini mendukung pemerintahan ke depan. Walau ini bisa dianggap “dosa mereka” tapi akibat atau hasilnya haruslah kita pikul bersama ke depan.
Mungkin yang perlu kita pikirkan ke depan adalah bagaimana mendorong adanya penyeimbang di parlemen. Diprediksi tinggal PDIP dan PKS yang kemungkinan jadi penyeimbang di parlemen. Itu pun kekuatannya hanya sekitar 28%. Walau kecil, masih lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Tinggak soal bagaimana mereka mengelola teknik negosiasi mereka berdasar kesetiaan pada konstitusi dan regulasi yang berlaku dan rasa tanggung-jawab atas kemaslahatan rakyat banyak.
Oleh karenanya rasanya perlu dipikirkan insentif yang diberikan kepada mereka, agar tetap setia sebagai penyeimbang, paling tidak berupa insentif elektoral, baik dalam Pilkada Nopember nanti maupun Pemilu 2029 yang akan datang. Di sini peran kita untuk mendorong umat memberi insentif itu.
“Saya juga baru baca sebuah tulisan di Kompas hari ini, yang tiba pada kesimpulan: partai yang bergabung dengan koalisi pemerintah paska pemilu, pada anjlok pada pemilu berikut. Ini hasil penelitiannya atas Jerman dan Denmark. Tentu ada perbedaan suasana di kedua negara tersebut dengan di Indonesia, karena di kita, partai-partai sulit dibedakan satu sama lain kalau dari basis ideologisnya”, ujar Gomar.
Apapun itu, kita tidak bisa sepenuhnya meletakkan posisi penyeimbang ini hanya di parlemen. Menyitir Chales de Gaulle tentang peran tentara dalam perang, barangkali tak terlalu salah kalau saya katakan, pembangunan politik, terutama proses demokratisasi, di negara ini terlalu berharga jika hanya diserahkan kepada para politisi.
Perlu juga peran para tokoh agama untuk tetap menjadi penyampai nurani rakyat. Meminjam istilah Rendra, para tokoh agama bisa menjadi penyeimbang dengan berumah di atas angin. Saya bangga, bahwa sejak pertemuan pertama hingga yang ketujuh hari ini, semua yang terlibat dalam forum ini tak seorang pun yang berumah di kraton. Sepemahaman saya tak seorang pun di antara kita yang memiliki kepentingan politik selama pemilu lalu, tak ada di antara kita yang “dirapihkan” di dalam kraton.
Tetaplah kritis dalam menyambut pemerintahaan baru nanti, sebagai wujud kecintaan kita atas bangsa Indonesia.
Halal Bihalal sendiri berarti Halal halalan, lahir era presiden Soekarno yang meminta Kyai Wahab Abdulah bagaimana cara menyatukan perbedaan baik pendapat maupun ideologi. Maka, berangkat dari tradisi bangsa tentang semangat berkumpul, maka Kyai Wahab mengundang semua pihak bertemu di istana di tahun 1948 yang kemudian disebutlah dengan halal bihalal. Hal itu diungkapkan Kyai Marsudi Syuhud yang merupakan pencetus FID bersama Eko Galgendu.
“Halal bihalal ini hanya dikenal di Indonesia dan pertama dikenalkan pertama kali di istana presiden lalu berlanjut di gubernur dan instansi-instansi lain hingga berkembang sampai hari ini”, ucap Kyai yang ramah ini.
Sedangkan Romo Ignatius Suharyo saat didaulat memberikan sambutan sebagai tuan rumah mengatakan bahwa FID pertama kali dilaksanakan di tempat ini, pertemuan hari ini sudah berlangsung tujuh kali dalam rangka syawalan atau halal bihalal. Dengan suara khasnya yang lembut Romo Suharyo menyampaikan bahwa KWI tahun 2024 ini memasuki usianya yang ke 100 tahun. Romo Suharyo mengingat kembali kehadiran KWI di era Orde Baru, bagaimana situasi politik ketika itu.
Pemilu hanya sekedarnya saja, padahal hasilnyapun sudah diketahui. Terkait persoalan tersebut, KWI membuat analisa sosial hampir diseluruh kehidupan dan kemudian mengeluarkan pernyataan sikap bahwa tidak memilih tidak berdosa.
Kemudian lahirlah era Reformasi 1997-1998, KWI melihat akan adanya perubahan kondisi bangsa. Namun, tak bisa dipungkiri saat ini justru masalah korupsi begitu parah dan sangat mengkuatirkan, belum lagi masalah penghargaan akan harkat manusia masih marak terjadi ini terlihat masih banyaknya perdagangan manusia.
Untuk itu lanjut Romo Suharyo dalam usia 100 tahun ini KWI akan kembali mengeluarkan analisa sosial dengan meminta pertimbangan para ahli dari berbagai bidang.
Terlepas dari itu semua Sri Eko Galgendu pemimpin spiritual Nusantara menegaskan bahwa yang terjadi pemimpin agama malah dipimpin pemimpin politik, padahal yang punya umat pemimpin agama. Istilahnya pemimpin agama itu komisarisnya di mana tugasnya mengarahkan sehingga jika ada pemimpin politik yang pernah berjanji, maka pemimpin agama berhak menagih janji tersebut.
Demikian jika terjadi kemorosatan etika dan moral di tengah masyarakat pemimpin agamalah yang seharusnya bertanggung jawab, pungkasnya.
Penulis YM