Topik Diskusi Pagi Sambil Minum Kopi Di Kampung Kami

Oleh Jacob Ereste

Jakarta kilometer.co.id Kekayaan bangsa Indonesia dalam beragam bentuk sungguh luar biasa banyaknya. Tidak hanya dalam hasil bumi dan tambang alam, meski harga bahan bakar pun harus dibeli dengan harga yahg selangit, dibanding dengan harga di negara lain.

Itu semua bukan bagian dari selera humor bangsa Indonesia yang memang luar biasa juga untuk mengelak dari terpasang krisis. Tapi memang ada pameo ampun yang menyebut tentang nyali dan keberanian orang Indonesia yang luar biasa, seperti keberanian untuk membohongi Tuhan.

Artinya, kalau Tuhan saja sudah berani dibohongi, apalagi Anda yang mungkin sudah tidak lahi dianggap sebagai apa-apa. Untuk BLT (Bantuan Langsung Tunai) saja misalnya tidak harus tunai terwujud atau bahkan tidak sama sekali perlu untuk disampaikan pada mereka yang berhak menerimanya.

Apalagi sekedar aksi unjuk rasa yang dimanipulasi dengan berbagai cara agar terkesan meriah. Padahal semua itu sekedar rekayasa semata untuk menyelimuti kasus lain yang lebih besar yang sedang hendak dilakukan agar tak terendus publik.

Jadi selera humor pun di Indonesia sudah merasuk ke semua lini dan lapisan profesi dan semua sektor pekerjaan.

Karena itu, tidak sedikit pula orang yang mengikuti seri “Drama Dari Duren Tiga” itu dengan selera humor yang tinggi pula. Jika, tidak bagaimana mungkin bisa luput dari tekanan stres dan rasa kecewa yang amat sangat berat dan vatal sifatnya itu kekejian dari manusia membunuh manusia tanpa rasa kemanusiaan yang berasab seperti yang mau dikerjakan oleh BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila). Jadi mungkin BPIP itu pun tidak Pancasilais karena mau menerima upah nyaris seribu kali lipat dari UMR (Upah Minimum Regional) yang tak sepenuhnya pula bisa diterima oleh kaum buruh.

Begitulah ragam kekayaan atau selera humor warga bangsa Indonesia yang menjadi topik diskusi sambil minum kopi pahit agar mampu menghadapi situasi krisis dengan ekonomi dengan langgam humor gaya Mataraman hingga budaya Jawatimuran yang berbasis pada Seni Ketoprak dan Ludruk itu.

Demikian juga wacana untuk memperpanjang masa jabatan Presiden sampai tiga periode yang harus dipahami sebagai bagian dari wacana demokrasi yang sehat itu, tidak perlu dipahami seperti gejala sakit jiwa yang akut dan melakukan cangkok otak.

Cerita dan kisah diatas tadi adalah inti dari cara kami di kampung menikmati kopi pagi yang pahit. Soalnya bukan karena jeri pada penyakit gula yang tinggi, soal utamanya karena sungguh tidak mampu membeli gula, meski kampung kami dikelilingi oleh kebun tebu yang subur.

Dan acara minum kopi pagi serupa semakin terasa enak dan nyaman dinikmati, sejak harga beras dan telur harus menjadi prioritas, tinimbang untuk membeli gula agar bisa melengkapi kenikmatan minum kopi. Bahkan untuk sekedar camilan pun, tak jadi masalah. Apalagi untuk gorengan yang harus ditebus dengan harga minyak goreng yang angkuh karena dijual dengan harga yang mahal. Maka itu kami pun sudah tak perduli dengan polah minyak goreng menjadi seperti hantu. Sebab kami sudah taklit menolak saran dari seorang elit politik di negeri ini untuk mengkonsumsi makanan yang direbus saja. Meski saran itu pun belum tentu dilakukan oleh yang elite partai itu dalam menata hidupnya. Jadi soal yang sulit diterima akal, tak perlu membuat kita ikut gamang. Sebab untuk merebus makanan itu hingga matang, harga elpiji pun di pasar sudah lebih dahulu mencekik.

Jadi anjuran agar warga masyarakat mengkonsumsi eceng gondok itu pun bisa diterima sebagai humor belaka. Tak perlu dicerna dengan akal sehat. Sebab soalnya ide itu memang tidak waras sebagai selera humor dari orang yang sakit.

 

Banten, 7 September 2022

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *