Jakarta kilometer.co.id Napak Tilas Rasul Jawa (NTRJ) yang di gelar oleh Persatuan Wartawan Nasrani (PEWARNA) Indonesia pada 28 Maret – 4 April 2022 yang lalu. Adapun NTRJ berisi Renovasi Makam Kyai Ibrahim Tunggul Wulung (Rasul Jawa) . Ibrahim adalah nama baptis yang diberikan Jellesma usai Tunggul Wulung mendalami “suara Tuhan” yang diterimanya. Belajar di Sekolah Missionarynya Jellesma.
Ziarah menjadi satu rangkaian peserta NTRJ mengetahui peristirahatan terakhir sang Rasul Jawa. Lalu ada Sarasehan yang menggali kesaksian sejarah sang Rasul dari narasumber pengikut, keturunan dan pakar sejarah gerejawi. Seluruh rangkaian di tutup dengan Pagelaran budaya yang mengimajinasikan bagaimana sang Rasul pada waktu itu lakukan syiar Injil. Ada tiga petilasan yang dikunjungi Yakni Jepara Gereja Injili Tanah Jawi (Makam Kyai Ibrahim Tunggul Wulung), Jombang, Gereja Kristen Jawi Wetan (Makam beberapa tokoh kekristenan dan Sang Rasul Jawa seperti Paulus Tosari, Jellesma, Collen dll) dan ketiga Purworejo (Makam Kyai Sadrach) Gereja Kristen Kerasulan Indonesia yang menjadi salah satu gereja Pengikut Rasul Sadrach.
Kegiatan ini mendapat perhatian dan dukungan besar dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui Kesetjenan dan Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah, apresiasi dari PGI, PGLII, dan lembaga-lembaga Kekristenan seperti MUKI. Perhatian dan apresiasi juga datang dari Pengurus Besar PBNU, yang menerima langsung perwakilan Pewarna Indonesia. Belum lagi dukungan dari kepala daerah Jepara, Jombang dan Purworejo. Artinya banyak pihak memberi atensi dan dukungan.
Lalu apa nilai-nillai luhur sang Rasul Jawa yang bisa di revitalisasi masa kini? Selain dari kesaksian para Rasul Jawa yang “Tuhan Pakai” untuk menyampaikan kasihNya? Ada beberapa nilai-nilai luhur yang bisa jadikan pelajaran. Diantaranya kejujuran mengakui kekurangan untuk menemukan jalan keluar. Apa itu? Para Rasul Jawa ini pada masa itu sekitar 1800-1900, hidup dalam masa kejayaan Islam, dan imperialis Belanda. Mereka sadari kekurangannya untuk bisa menyampaikan “pesan Tuhan”. Jalan keluarnya para tokoh dan beberapa muridnya buka lahan atau babad Hutan. Pada masa itu Hutan bukan status hukum yang dikuasai. Disinilah dibangun yang sekarang kita kenal sebagai Perkampungan Kristen.
Nilai luhur lainnya, kemampuan diri dalam menulis. Diketahui dari pakar sejarah yang jadi narasumber Para Rasul Jawa ini suka menulis. Tulisan seperti Syair, puisi dan catatan harian dalam pemuridan. Dan tulisan ini diketahui dibuat dalam dua bahasa yaitu Belanda dan Jawa. Sulistyani ahli sejarah dari GITJ yang datang ke Belanda dalam rangka menyusun penulisan sejarah pekabaran Injil dan sejarah GITJ mengetahui ada beberapa tulisan-tulisan Tunggul Wulung yang tidak diperkenankan otoritas Belanda untuk di duplikasi.
Dan nilai-luhur lainnya adalah dalam Syiar Injil yang menggunakan tradisi budaya yang ada. Semisal Ketoprak, wayang kulit dan seni tari. Tidak ada gejolak di tengah masyarakat saat itu.
Dari apa yang dilakukan para Rasul Jawa ini penghormatan dan penghargaan masih diberikan oleh masyarakat tanpa melihat identitas Kristen atau agama yang saat ini masih jadi pembatas sosial.
Lelaku atau perilaku yang menjadi tuntunan dan teladan yang diikuti hingga kini. Hubungan antara Syiar agama dan kerukunan diwujudkan dalam satu perilaku sosial yang tidak saling menegasikan.
Penulis Endharmoko
Jurnalis, dan Sekretaris Panitia NTRJ 2022.