Bedah Buku Bongkar, Bangun Rumah Ibadah : Pergumulan umat Kristen ditengah Masyarakat Intoleran

JAKARTA-KILOMETER Menyoroti masih terjadinya permasalahan terkait tindak intoleransi berupa penolakan dan pelarangan pendirian rumah ibadah di beberapa daerah, menjadi latarbelakang terbitnya buku berjudul “Hancur Bangun Rumah Ibadah” : Pergumulan umat Kristen ditengah masyarakat intoleran. Buku yang diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia dikerjasamakan oleh tiga lembaga Kristiani yaitu Yayasan Komunikasi Indonesia, Perkumpulan Senior GMKI dan Pewarna Indonesia.

Dalam rangka menguji buku yang baru saja diterbitkan diselenggarakanlah bedah buku pada Jumat (8/7), pukul 14.00-17.00 bertempat di Yayasan Komunikasi Indonesia, Matraman 10, Jakarta Timur.

Menghadirkan narasumber Romo Benny Susetyo (staff khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP). Tumpak A Simanjuntak (staff ahli Kementerian Dalam Negeri), Pdt. Henrek Lokra, (PGI), Pdt. DR. Ronny Mandang (ketua umum PGLII).

Sebagai tuan rumah bedah buku hadir DR. Bernard Hutabarat (YAKOM), Sahat Sinaga, SH, M.Kn. (Sekjen Perkumpulan Senior GMKI), dan Yusuf Mujiono (Ketua Umum Pewarna Indonesia), Merita Maryani (Direktur BPK Gunung Mulia).

Hadir sebagai undangan, Pdt. Harsanto Adi, ketua umum Asosiasi Pendeta Indonesia (API) dan beberapa pimpinan lembaga Kristiani lainnya.

Sahat Sinaga, mewakili para penulis buku menyampaikan pandangan bahwa buku Hancur Bangun Rumah Ibadah lahir sebagai refleksi atas apa yang pernah terjadi di Indonesia terkait penolakan pendirian rumah ibadah. Menurut Sahat ada dampak dari penerapan ijin bagi pendirian rumah ibadah. ” Peraturan ijin pendirian rumah ibadah ini terkesan membuat masyarakat saling berhadapan, maksudnya soal syarat persetujuan dari masyarakat yang dibutuhkan itu”, ungkapnya.

Lebih lanjut Sahat mengingatkan seluruh pihak untuk terus mengawal dan menjaga kerukunan dan toleransi di masyarakat terlebih untuk kebebasan beribadah.

Marita Maryani mewakili BPK Gunung Mulia mengungkapkan bahwa buku ini bagian dari kerjasama Oikumene, memajukan kerukunan dan toleransi. “Dari sampul dan judul memang terkesan kontroversi tapi kalo di lihat isinya dengan full colour dan banyak ilustrasi yang menarik menjadikan ini literasi yang menambah informasi” jelas Marita.
Sementara Romo Benny, menyikapi buku ini dengan tegas menyatakan umat Kristiani tidak boleh meratapi atas apa yang terjadi. Melainkan instrospeksi diri atas apa yang terjadi. “Saya kira masih lebih banyak ijin pembangunan rumah ibadah yang dikeluarkan, dan penolakan lebih pada dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat saja, imbuhnya. Romo Benny juga mengingkatkan pentingnya gereja membangun hubungan baik dengan lingkungannya.
“Persoalan kebangsaan kita memang masih akan terus terjadi sehingga perlu upaya-upaya membangun hubungan sosial yang lebih baik”, jelasnya.

Sementara Staf ahli menteri dalam negeri Tumpak, memaparkan hubungan pemerintah dengan yang diperintah. Dan dalam hal ini ada beberapa yang diatur oleh pemerintah pusat dan yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. “Dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat misal rumah ibadah itu wajib dipenuhi pemerintah”, ungkap Tumpak.

Sementara Pdt. Henrek Lokra dari PGI menyampaikan beberapa catatan hasil dari pendampingan PGI terhadap gereja-gereja yang dipermasalahkan. Meski sepakat dengan Romo Benny, Henrek mengingatkan adanya kearifan lokal yang justru bisa menganggu toleransi dan kerukunan. Ia mencontohkan soal Qanun di Aceh dan Budaya Ninik mamak di masyarakat Minang. Kedua hal tersebut kerapkali menjadi alasan beberapa pihak yang persoalkan keberadaan agama lain. “Seolah-olah budaya ini lebih tinggi daripada hukum negara” cetusnya.

Berbeda pandangan di sampaikan Ketum PGLII. Menurutnya ada persoalan baik dari dalam umat Kristen sendiri semisal adanya anggapan bahwa gereja besar menjadi “predator” bagi gereja kecil. “Ada kesan perijinan untuk gereja besar lebih mudah, dibanding gereja yang masih kecil” ujarnya. Selain itu Ronny juga menyoal logo kementerian agama yang dikesankan hanya mewakili agama tertentu. “Saya pernah meminta menteri agama yang lalu untuk mengubah logo kementerian agama yang mencerminkan toleransi”, ungkapnya.

Beberapa peserta bedah buku mengapresiasi terbitnya buku ini yang bisa menambah wawasan.
(Moko)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *