Jakarta, kilometer.co.id – Dalam rangka Dies Natalis ke 33 Sekolah Tinggi Teologia “IKAT” men gadakan beberapa kegiatan antara lain : Turnamen Futsal antar Gereja (02/02), Turnamen Futsal antar STT (09/02), Seminar Nasional Kebangsaan (11/02), Perayaan Dies Natalis ke 33 (12), dan Wisuda S1, S2, S3 dan pemberian penghargaan (13/02). Senin kemarin (11/02) bekerja sama dengan Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi (PERUATI) Jabodetabek telah diselenggarakan Seminar Nasional Kebangsaan di aula Kampus, Rempoa, Tangerang Selatan. Pembicara pertama menghadirkan Wakil Kepala Detasemen Khusus 88 Anti Teror MABES POLRI, Brigjen Pol. Martinus Hukom S.IK yang mengangkat pembahasan bertema “Terorisme dan Radikalisme dalam Keindonesiaan Indonesia”. Pembicara kedua adalah Pdt. Sylvana Maria Apituley., Ph.D Cand membahas bagaimana “Merawat dan Menjaga Indonesia yang Adil Makmur: Pengalaman dan Refleksi Teologis Feminis”
Martinus memulai pemaparan dengan penjelasan seputar bahaya fanatisme sempit dan pola penyebaran radikalisme di Indonesia dan dunia. Radikalisme pula, kata Martinus, menjadi pemicu dari sejumlah konflik bersenjata di dunia. Khususnya ketika pemahaman yang digunakan merupakan kebenaran suatu agama yang dipaksakan untuk berlaku mutlak bagi semua orang. Martinus juga mengingatkan bahwa keadaan itu pernah pula berlaku di tengah gereja, di masa abad pertengahan. Di mana siapa saja yang berbenturan dengan kebijakan gereja saat itu akan menerima dihadapkan dengan hukuman sepihak. “Gereja punya pengalaman gelap ketika gereja berada di puncak kekuasaan,” kata Martinus.
Pembicara kedua adalah Vice President World Communion of Reformed Church (WCRC), Pdt. Sylvana Maria Apituley., Ph.D Cand. Sylvana mendalami tema “Merawat dan Menjaga Indonesia yang Adil Makmur: Pengalaman dan Refleksi Teologis Feminis”. Dalam literasinya Sylvana menganalisis melalui perspektif gender terhadap fenomena terorisme yang terjadi di Tanah Air. Ia juga turut mengungkapkan keprihatinannya terkait keberadaan kelompok radikal yang memanfaatkan kaum ibu, bahkan anak kecil sebagai media untuk menebar teror.
“Kelompok radikal menggunakan tubuh perempuan dan anak sebagai alat untuk mencapai tujuan mereka,” paparnya. Secara khusus Sylvana meminta agar gereja mewaspadai pola penyebaran radikalisme melalui platform media sosial. “Medsos jalur terbaik head to head penyebaran radikalisme di kalangan anak dan perempuan,” ungkapnya. Dari faktor sosial, Sylvana menambahkan bahwa orang Kristen harus mengedepankan sikap-sikap yang tidak antisosial. Lebih lanjut dikatakan keterbukaan dan langkah membaur dengan masyarakat merupakan sebuah pilihan terbaik dalam menangkal laju penyebaran radikalisme.
Tinjauan dari sisi hubungan internasional juga ikut dipaparkan oleh Sylvana. Sebagai anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia mengembang misi untuk ikut melaksanakan program pembangunan berkelanjutan (Suistanable Development Goal’s/SDG’s), di mana kelompok minoritas pun mendapatkan porsi yang setara di dalam pembangunan tersebut. “Setiap negara yang menjadi anggota PBB harus melaksanakan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s). Artinya tidak boleh ada yang tertinggal. Itu juga berarti kelompok minoritas pun harus menjadi subjek pembangunan,” kata lulusan STT Jakarta itu. Seminar Nasional ditutup dengan penyerahan sertifikat oleh Ketua STT “IKAT” kepada kedua narasumber, Pdt. Dr. Jimmy Lumintang. Sesaat sebelum rangkaian seminar berakhir, moderator menyempatkan diri mengajak peserta yang hadir untuk berdiri bersama dan memaklumatkan komitmen dalam berpancasila di kehidupan sehari-hari. “Indonesia rumah Kita bersama,” kata moderator. “Saya Indonesia, Saya Pancasila,” sambut seluruh peserta seminar. [RA]