Jakarta, kilometer.co.id – PGI merasa perlu meluruskan pernyataan yang disampaikan oleh Sekretaris Umum PGI Gomar Gultom pada sebuah acara dialog pekan lalu agar tidak menjadi multi tafsir terhadap apa yang disampaikan dan menjadi sikap PGI, atau dapat menimbulkan berbagai asumsi yang melenceng dari makna yang sebenarnya.
Dalam keterangannya, Sekretaris Umum PGI Pdt. Gomar Gultom menegaskan bahwa jika ada pihak-pihak yang keberatan dengan hasil Pemilu 2019, disarankan mengumpulkan bukti-bukti dan mengajukannya ke Mahkamah Konstitusi. Hal ini merupakan sebuah mekanisme yang dapat ditempuh sesuai dengan perundang-undangan yang ada.
“Walaupun sebenarnya hal ini masih terlalu dini untuk dipersoalkan, sebab pengumuman dari KPU baru akan dilakukan pada tanggal 22 Mei nanti,” tandas Pdt. Gomar dalam acara dialog yang bertajuk “Merawat Kerukunan Pasca Pemilu 2019” di bilangan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (2/5). Kegiatan ini diselenggarakan oleh Kantor Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antar Agama dan Peradaban, yang mengundang perwakilan seluruh tokoh-tokoh agama.
Artinya, terkait hasil Pilpres dan Pileg 2019 menjadi sikap PGI untuk menunggu pengumuman resmi KPU dan tidak pernah secara spesifik menyebutkan adanya nilai-nilai kejujuran yang hilang dalam pelaksanaan Pilpres dan Pileg 2019. Kalau ada media yang mengutip kalimat tersebut, “Harusnya ditulis secara utuh karena kalimat tersebut tidak merujuk pada penilaian tentang penyelenggaraan penghitungan suara yang sedang berjalan, tetapi sebagai catatan umum terhadap proses demokrasi yang sedang terjadi di Indonesia.”
Lanjut Sekum PGI, ada tiga catatan penting dalam pelaksanaan pesta demokrasi lima tahunan yang baru saja berlangsung. Pertama, sebagai bangsa Indonesia kita telah sepakat menempuh demokrasi sebagai kendaraan sebagai jalan bagi kita menuju cita-cita kemerdekaan Indonesia. Memang demokrasi belum merupakan sebuah kendaraan atau jembatan yang utuh tetapi bagaimanapun dari berbagai studi melihat bahwa demokrasilah yang paling dekat dengan nilai-nilai kemanusiaan, nilai kebenaran, nilai kejujuran, dalam kerangka menata kehidupan bersama, dan didalamnya ada kepastian-kepastian, ada mekanisme terukur yang bisa dilihat oleh semua dan dinikmati oleh semua.
Kedua, kita semua menginginkan kebenaran berpihak kepada kita. “Tetapi problem yang besar adalah apakah kita mau berpihak kepada kebenaran, dan ini adalah menjadi problem kita dalam post truth yang sekarang, dimana propaganda-propaganda masif dilakukan membungkus kebohongan seolah-olah itulah kebenaran. Saya kira ini sudah dipraktekkan di zaman Nazi, dan itu kita pakai lagi tidak hanya di Indonesia tetapi itu menjadi gejala mondial sekarang ini, dengan adanya hoaks dan sebagainya,” jelasnya.
Ditegaskannya, peran media sangat penting, tetapi kalau kita menelan mentah-mentah informasi yang ada sekarang ini, apa jadinya bangsa ini. Disinilah pentingnya media yang berspektif perdamaian dan mengedepankan kesejukan.
Ketiga, peran tokoh-tokoh agama sangat diperlukan untuk mengajak umat menggeluti esensi beragama, bukan agama sebagai simbol dan ritual, tetapi esensi beragama itu sendiri dalam kerangka menawarkan damai, kemanusiaan, dan kesetaraan. [RA]